BAGIAN DUAPULUH DUA

785 69 0
                                    

Dia bukan anakku, itu yang pertama kali dikatakan Karin saat mengetahui tabiat buruk anaknya. Dia berpikir dari siapa Dea menurunkan perilaku itu? Karena menurutnya semua keluarganya adalah orang yang baik baik saja secara mental. Apakah Tama? Suaminya itu memang memiliki sifat yang mungkin oranglain tidak akan percaya jika mereka belum melihatnya sendiri, tapi Karin yang sudah hidup lebih dari sepuluh tahun bersama Tama sudah tau pasti jika suaminya itu sedikit gila.

Karin mengemasi barang barangnya, bersiap untuk meninggalkan rumah ini. Dia tidak bisa menghentikan Dea, memahaminya ataupun memaklumi semua perbuatan Dea. Karena baginya itu tetap saja sebuah kejahatan. Karin ingin anaknya itu mendapatkan hukuman untuk apa yang dilakukannya. Walaupun masih berusia tigabelas tahun tetap saja Dea harus tau bahwa apa yang dilakukannya itu salah.
Karin yakin pasti ada pertanggung jawaban untuk Dea meski anaknya itu dibawah umur.

Sebuah koper besar yang dibawanya terhenti, Karin melihat kebelakang, Dea, anaknya sudah berdiri tepat dibelakangnya, menyangga kopernya dengan kakinya lalu mata yang menyorot heran dan bingung padanya. Karin berusaha tenang.

"Ma, kemana?" Tanya Dea.

"Nenek kamu sakit, Paman kamu menelepon mama jika Nenek sekarang berada dirumah sakit." Jawabnya.

"Aku ikut."

"Tidak usah sayang, kamu besok sekolah." Yakinnya.

Jika Dea ikut, maka itu sama seperti membawa kematian dengannya.

"Aku ikut."

Karin refleks mundur saat Dea maju kedepannya. Karin melihat jika Dea sudah mulai aneh. Kenapa sekarang hal hal seperti ini baru terlihat olehnya? Mata anaknya tajam, gelap, juga redup. Dia tidak terlihat seperti anak seusianya yang cerah. Dia.. kenapa?

"Dea." Panggil Karin.

"Dea sayang." Panggilnya lagi saat melihat Dea tidak berhenti maju padahal Karin sudah hampir berada didepan pintu.

Tangannya sampai pada kenop pintu, Karin bersiap membukanya. Kopernya sudah tidak dipedulikannya lagi, berbalik, lalu sebuah vas bunga mengenai kepalanya. Dan gelap.

Tama yang berdiri didepan pintu melirik pada istri dan sebuah vas yang berserakan. Vas bunga  yang baru saja dibelinya untuk koleksi terbaru istrinya sudah hancur dikepala sang istri.

Ah, harusnya itu akan jadi vas ke tigapuluh istrinya, dan harusnya vas itu istimewa karena merupakan vas terakhir yang langsung mengenai kepala Karin.

Dea dan Tama saling berpandangan sebelum mereka membawa Karin kesuatu tempat.

***

Levan duduk disamping seorang wanita yang tampak seperti tidur, berbagai alat medis terpasang dibeberapa bagian tubuhnya. Levan tersenyum tipis, setidaknya walaupum belum sadar wanita didepannya ini sudah lebih baik dari sebelum dia menemukannya. Lima tahun, waktu yang cukup lama hanya untuk membuat wanita didepannya ini trauma, atau mungkin lebih dari itu. Levan masih belum tau bagaimana wanita didepannya ini bertahan selama itu, tubuhnya kurus, jelas sekali, mana mungkin mereka memberi makan yang cukup, berbagai bekas luka ada pada tubuhnya. Pertama kali menemukannya saja Levan sangat prihatin, mengerikan. Saat itu wanita didepannya ini dalam keadaan terikat, kakinya juga sudah memerah bahkan mengeluarkan darah karena besi yang menyangga kakinya. Lalu tangannya, melihat itu Levan lagi lagi emosi. Dia harus segera memasukkan mereka berdua kedalam penjara, mendapatkan hukuman mati untuk apa yang sudah dilakukannya selama ini. Lima tahun, lima tahun sudah cukup lama untuk membiarkan mereka melakukan apapun yang diinginkannya. Sekarang waktunya untuk membuat mereka jera.

Levan kembali melihat pada wanita itu.

"Ma, tunggu dan lihat apa yang akan terjadi saat mama membuka mata." Ucapnya, setelah itu Levan pergi dari ruangan itu.

Karin Aryama

***

"Aku sudah beli tiketnya. Ayo." Levan menarik Beti dari tempatnya. Kencan kali ini mereka akan menonton. Beti hanya mengikuti apa yang Levan katakan. Perbedaan usia yang sedikit jauh membuat Beti berpikir kenapa Levan tidak mengencani seorang gadis yang seusia atau yang berbeda dua atau tiga tahun darinya saja? Kenapa selalu menyeret nyeret Beti kemanapun lelaki itu mau, mengontrol setiap pergerakan yang dilakukan Beti.

Beti tau jika Levan adalah psikiaternya, tapi tetap saja dia hanya pasien lelaki itu.

"Kamu.. tidak lupa kan?" Tanya Levan saat mereka sudah duduk.

"Selamat berusia duapuluh tujuh tahun." Ucap Beti.

Setiap tahun, setiap ulangtahunnya Levan selalu meminta itu kepada Beti. Alasannya lagi lagi hanya Levan yang tau. Padahal mungkin banyak yang sudah mengucapkan selamat kepada lelaki itu.

Setengah film terputar, Beti tidak menikmati filmnya sama sekali, tapi dia tetap melihat kedepan layar seperti biasa.

"Kemarin, apa yang kamu lakukan bersama Keyra?" Tanya Levan. Walaupun matanya masih menatap pada layar.

Beti diam, meladeni Levan hanya butuh kejujuran.

"Dia bertanya, tentang murid sekolah yang dibunuh itu."

Beti tidak berbohongkan? Keyra memang menanyakan hal hal yang berkaitan dengan korban, lalu apa yang Beti ketahui.

Mereka setelahnya hanya diam, menikmati film yang sedang tayang.

"Kenapa selalu ini?"

Setelah lima tahun, akhirnya pertanyaan itu muncul dari bibir Beti.
Tempat mereka menonton saat ini bukan bioskop biasa, ini bioskop yang bahkan sudah lima tahun didatangi mereka berdua. Dengan film yang selalu sama.

"Rasa penasaran hanya merugikan. Tau kenapa kamu berada diputaran kehidupan selama lima tahun ini?" Levan sengaja memberi jeda.

"Karena rasa penasaran." Sambung Beti.

Benar, rasa penasaran berlebihan hanya merugikan.

***

Tbc.

12 Agustus 2019, Monday.

Tc.

THE SINSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang