Rafael masih memandangi kepergian Fatimah dari belakang, sambil tangannya mengepal cincin tunangan yang tadi gadis itu kembalikan pada Rafael. Air mata mulai mengalir seperti membelah pipinya, tak ia tepis, dan tak ada isakan. Rafael membiarkan air matanya jatuh tanda kekacauan, mana mungkin gadis yang bertahun-tahun ia cari dengan penuh perjuangan harus berakhir sia-sia seperti ini? Tapi Rafael juga merasa keslahan tak sepenuhnya ada dalam dirinya, lalu apa yang harus ia lakukan? Yang bisa ia lakukan hanyalah mematung seperti sekarang ini, dan berharap Fatimah berbalik badan dan mengampuninya.
"Athaya,," bisik Rafael serak.
Kemudian selang tak begitu lama, ada telpon masuk dari ponsel Rafael. Dari nomor tak terdaftar di kontaknya, "halo ini siapa?"
"Rumah sakit?"
"Sekarang?"
"Bilangin ke dia supaya bertahan, aku kesana."
Rafael menutup telponnya dengan wajah panik dan marah, ia bergerak cepat mencari kendaraan umum menuju tempat yang tadi si penelpon beri tahu.
.......
Malam ini cuaca di Alexandria seperti mendukung keadaan hati Fatimah, tak biasanya hujan turun sangat lebat seperti sekarang. Fatimah belum menceritakan pada siapapun tentang kandasnya hubungan antara dirinya dan Rafael, ternyata seperti ini rasanya putus. Gadis itu meluruskan kedua kakinya di atas kasur sambil menatap hujan dari balik jendela dengan muram, sebenarnya ia tak ingin sedih berlarut- larut. Tapi ia tak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa memang saat ini ia sedang sangat kacau! Dan pada akhirnya Fatimah kembali menangis saat membayangkan ucapan Rafael tadi yang menyakiti dirinya.
"Fa keluar ada yang ketuk pintu tuh, bukain! Kakak lagi masak." tiba-tiba suara ka Zahra mengusik lamunan Fatimah, ia segera menghapus air matanya. Ah palingan menagih pajak bangunan karena Fatimah lupa membayar bulan kemarin.
"Ia kak bentar," sahut Fatimah bangkit dari keterpurukannya.
Langkahnya gontai dan tak ada semangat terus gadis itu perlihatkan, mengisyaratkan bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Fatimah meraih gagang pintu lalu membukanya, tiba-tiba ia sangat kaget ketika sebuah tubuh tegap jatuh ke atas pundaknya. Tubuh itu begitu lemas dan semua pakaiannya basah akibat air hujan, kepalanya dengan rambut yang basah tak karuan masih tertunduk menyentuh pundak Fatimah.
"El," bisik Fatimah tak terasa meneteskan air mata, namun Fatimah belum berani menyentuh Rafael. Ia hanya mematung, "kamu kenapa?"
"Maaf," lirih Rafael dan terasa pundak Fatimah basah, apa Rafael menangis?
"Maaf," ulangnya.
Fatimah tak kuat menahan tangis, "kamu ujan-ujanan?"
"Maaf," ulangnya lagi sambil melingkarkan kedua tangannya ke tubuh Fatimah walau Fatimah masih diam.
"Aku gak bisa hidup tanpa kamu Fa, kita putus baru beberapa jam dan itu adalah jam terburuk menurut aku."
"Maaf jika perkataan aku tadi menyinggung kamu, tapi jangan putusin aku." Rafael terus memelas kepada gadis itu, namun belum ada respon apa-apa darinya.
"Aku ngaku aku salah Fa, jangan terus hukum aku dengan cara ini." Rafael sesekali menghapus air matanya dan kembali mengeratkan pelukannya.
"I love you Fatimah, i love you so much." Fatimah menepuk nepuk pundak Rafael berniat menenangkannya, seperti mencoba membuat anak kecil berhenti menangis.
"Aku cuman takut kamu ninggalin aku lagi Fa," ucap Rafael yang sepertinya masih menangis dan jilbab Fatimah sudah mulai terasa semakin basah. Namun lama kelamaan pelukan Rafael melemas dan akhirnya ia terjatuh karena Fatimah tidak bisa menahan berat tubuh El yang dua kali lipat dari tubuhnya. Saat Fatimah panik memukul-mukul pipi Rafael, tercium bau tak sedap. Rafael mabuk?
KAMU SEDANG MEMBACA
Adam dan Hawa (About Athaya2)✔ #wattys2019
Historical Fiction"Ketika aku bukan menjadi diriku lagi, dan kau menemukanku!" Saat dimana kisah peradaban mesir kuno mampu membuat cinta kembali dipertemukan di peradaban modern. Petualangan, teka-teki, rahasia menjadi bumbu pemanis kisah cinta yang berlanjut. Sepe...