12 | Khawatir

2.1K 93 3
                                    

Suara isak tangis seorang gadis, terdengar begitu jelas dari arah ruang tamu. Membuat wanita paruh baya yang sedari tadi asyik berkutat di dalam dapur, tergesa-gesa menuju sumber suara. Kedua netra itu seketika memanas. Hatinya, terasa tercubit. Lagi dan lagi, pemandangan menyakitkan yang ia lihat. Ingin melindungi, tapi ia tidak bisa. Tatapan tajam dari anak majikannya, begitu menusuk. Mau tak mau, ia hanya diam menunduk di tempat.

Suara pukulan, tamparan dan jambakan tersebut, seiring dengan tangisan dari gadis berpenampilan acak itu. Permohonan ampun, tak di hiraukan. Tetap saja, cambukan itu mengenai tubuh rapuh Eisha.

Sedang gadis berambut sebahu itu, hanya duduk diam di Sofa. Menyaksikan, sesekali memasukkan sebuah cemilan ke dalam mulut. Tertawa pelan, saat tangisan Eisha semakin menjadi-jadi.

"Ini pelajaran karena kamu, telah merusak Guci kesayangan saya," geramnya, melempar cambuk tersebut ke sembarang arah.

Menghela nafas yang terdengar memburu, Anita menepuk-nepuk kedua tangan. Senyum Devil-nya, masih tercetak jelas. Rasa puas, akhirnya tersalurkan.

"Maaf, ma," cicitnya lemah. Tubuhnya terasa remuk. Rasa perih, menjalar ke seluruh tubuh. Siksaan Anita kali ini, lebih sakit di bandingkan siksaan sebelumnya. Rasa sakitnya, benar-benar membuat dirinya tak berdaya.

Tak mengubris permintaan maaf Eisha, wanita paruh baya tersebut menarik paksa. Membuat gadis itu, mau tidak mau harus berdiri, "Kamu bisa saja saya maafkan," ucapnya, "Dengan syarat, malam ini kamu tidur di luar," lanjutnya.

Masih dengan mata sembabnya, Eisha membulatkan kedua netra cokelat gelapnya. Tidur di luar? Malam ini? Haruskah? Mengapa Anita tega sekali menghukum dirinya, yang jelas-jelas bukan perbuatannya?

Masalah Guci yang di maksud mamanya itu, bukan ia pelakunya. Melainkan, itu adalah perbuatan Fely. Kakaknya sengaja. Menjatuhkan barang kesayangan Anita. Saat wanita paruh baya itu, tepat membuka pintu utama. Ia baru saja pulang arisan. Dan mendapati Guci kesayangannya hancur tak berbentuk, membuat emosinya memuncak. Eisha yang kebetulan berada di ruang yang sama, langsung saja di tuduh.

"T.. Tapi ma, Eisha nggak salah," jujurnya.

Anita tak mengubris ucapan anak tirinya itu. Ia tetap menyeret Eisha dengan paksa. Mendorongnya dengan kuat, saat mencapai teras. Alhasil, gadis itu tersungkur. Dan dahinya, tepat mengenai lantai dingin. Cairan kental merah, merembes memenuhi pelipis. Membuatnya, merasakan pening luar biasa.

"Mau nggak mau, malam ini kamu tidur di luar. Terserah, kamu mau tidur di mana. Yang jelas, malam ini kamu tidak boleh berada di lingkungan rumah," jelasnya, kemudian menutup pintu dengan kasar.

Gadis berambut cokelat tersebut, hanya mampu memejamkan kedua mata. Mencoba bersabar, dan menerima semua. Ia menghela nafas. Menghirup udara, sebanyak mungkin. Bukan kesalahannya, tapi ia yang harus menanggung? Lucu sekali!

Dirinya tidak marah. Hanya saja, merasa kecewa dengan sikap Anita. Mengapa wanita itu, hanya selalu menyalahkan dirinya? Padahal, bukan hanya ia yang berada di rumah itu. Ada Fely. Ada Bibi Asih. Tapi, kenapa ia yang selalu mendapat perlakuan tidak adil? Kenapa? Apa karena.., sudahlah. Lebih baik, ia segera pergi.

Dengan tubuh yang penuh luka lebam, Eisha bangkit. Menatap pintu rumah dengan nanar, ia mulai melangkah, menjauhi rumah bertingkat itu. Dadanya begitu sakit. Sangat sakit, sampai ia harus memukulnya berulang kali. Ke mana ia harus pergi malam-malam, begini?

KenSha [Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang