Berdiskusi adalah salah satu cara menghabiskan waktu paling menyenangkan menurut Mingyu. Setelah selesai dengan pekerjaannya di Jepang, ia segera pulang ke peraduan belahan jiwa terkasihnya. Malam-malam yang penuh dengan diskusi hangat berbagai macam topik adalah momen yang ditunggu Mingyu, dengan posisi kepala Wonwoo yang terbenam di dadanya maka obrolan malam semakin berarti menurutnya. Seperti saat ini saja, ketika Wonwoo masih berendam di kamar mandi, Mingyu telah siap bersandar di headboard ranjang mereka sambil memakai kacamata dan membaca buku. Wawasan Wonwoo yang luas menjadi daya tarik tersendiri bagi pria tampan itu, ia mengagumi bagaimana wajah serius Wonwoo ketika membaca buku, baginya sang istri menjadi berkali-kali lipat lebih menawan ketika sedang tenggelam bersama ribuan kata-kata. Mingyu membolak-balik buku yang berada dalam genggamannya, buku yang beberapa hari ini menjadi bahan bacaan sang istri. Ia mengernyit heran, pasalnya isi buku itu sangat jauh bertolak belakang dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan Wonwoo, berkali-kali Wonwoo telah membuatnya jatuh hati dengan tingkah yang tak pernah diduga-duga.
"Sayang, kau masih lama?" Mingyu mengetuk pintu kamar mandi, di dalamnya terdengar suara berat Wonwoo yang sedang bersenandung lembut.
"Aku sedang berendam air hangat, sebentar lagi, Mingyu. Otot-otot di tubuhku rasanya masih kaku." Suara Wonwoo terdengar sayup-sayup membuat Mingyu menyunggingkan senyumannya.
"Baiklah, aku menunggumu." Setelahnya hanya ada gumaman mengiyakan dari dalam kamar mandi yang diutarakan oleh Wonwoo.
Mingyu kembali menekuri buku di tangannya. Buku tentang kesehatan organ tubuh. Tentang bagaimana respon tubuh terhadap obat-obatan. Ada satu hal menarik dalam buku itu menurut Mingyu, sejak dulu dirinya memang sangat-sangat mengagumi organ otak. Bagaimana organ yang tidak seberapa besar itu mampu menampung memori selama bertahun-tahun. Ia kembali mengingat hasil medical check up yang ia lakukan kemarin di Jepang. Sang istri tidak mengetahui jika Mingyu sempat dilarikan ke rumah sakit karena epistaxis yang tidak kunjung berhenti, hidungnya mengeluarkan darah segar selama beberapa jam. Entah takdir apa yang sedang direncanakan Tuhan, secara kebetulan Wonwoo malah sedang membaca dan memperluas wawasannya dengan membaca buku kesehatan.
Suara handle pintu kamar mandi yang didorong menandakan bahwa Wonwoo telah selesai dengan kegiatan berendamnya. Dengan memakai kaus longgar berwarna biru muda lengan panjang dan celana piyama yang berwarna senada, ia naik ke atas ranjang dan langsung mengusak tenggelam di antara lengan kekar Mingyu. Aroma floral citrus yang menguar dari rambut Wonwoo membuat Mingyu menghujani kecupan-kecupan kecil di atasnya.
"Lama sekali mandinya." Mingyu menggumam, matanya masih lekat membaca baris demi baris kalimat yang tercetak di buku Wonwoo yang ia baca.
"Aku berendam air hangat, tubuhku lelah sekali. Beberapa tender besar telah berhasil dimenangkan, maka tim harus bekerja lebih keras agar tak mengecewakan." Wonwoo menjawab sambil matanya menelisik ke arah Mingyu yang sibuk sendiri dengan buku. "Kau membaca bukuku, Gyu?"
"Ah ini? Iya sayang, tak biasanya kau membaca buku kesehatan." Tangan Mingyu mengangkat buku itu.
"Oh itu, aku 'kan memang hobi membaca segala jenis buku. Lagipula itu 'kan diktat kuliah Seulgi-noona." Wonwoo menjawab sambil tertawa, Seulgi adalah kakak sepupu Wonwoo yang berprofesi sebagai dokter.
"Wonie-ya, membaca buku tentang organ tubuh yang kita punya membuatku terkagum-kagum. I found God in myself." Mingyu berkata sambil mengecup kening Wonwoo yang sedang menatap ke arahnya sambil mengangguk-angguk.
"Iya, membuat kita lebih bersyukur 'kan?" Wonwoo bertanya polos yang dihadiahi anggukan oleh Mingyu.
"Aku jadi ingin berterima kasih dan lebih mencintai tubuhku sendiri. Ia sudah bekerja dengan keras sehingga aku bisa hidup sampai sekarang. Ia membuatku bertahan dan bisa di sini bersamamu." Tatapan Mingyu yang lembut ketika mengatakan itu membuat pipi Wonwoo memanas. Pria manis bermata rubah itu mengeratkan pelukannya pada Mingyu.
"Gyuie ... Tetap sehat ya. Temani aku sampai nanti."
"I will, Love. Oh satu lagi, aku ingin kita sering-sering berdiskusi sepanjang hidup kita. Membangun memori dan kenangan-kenangan manis yang tak akan habis dimakan waktu." Wonwoo lagi-lagi mengiyakan permintaan Mingyu dengan anggukan.
"Aku akan membaca lebih banyak untuk bahan diskusi kita dan berusaha menjawab semua keingintahuanmu, Mr. Perfect." Mereka berdua lalu tertawa seperti tak akan pernah ada beban besar yang menghantui hidup bahagia mereka.
Amplop putih yang berisi hasil pemeriksaan kesehatan Mingyu teronggok begitu saja di antara selipan lembar-lembar buku Wonwoo yang ia baca sejak tadi. Mingyu lupa jika ia ingin membagi segala sesuatu dalam hidupnya bersama Wonwoo, eksistensi Wonwoo malam itu yang terlihat lebih berkilau membuat Mingyu tak tega meredupkan binar bahagia pada mata sipit yang tajam itu. Senyuman juga tak henti mengembang dari bibir tipisnya yang merah, lagi-lagi Mingyu tidak sampai hati untuk membuat senyuman itu hilang dan diganti dengan sebuah kekhawatiran yang mendalam. Di tengah gelak tawa bahagia Wonwoo karena Mingyu malam itu, tiba-tiba saja lengan kekar Mingyu merengkuhnya begitu erat.
"Eum ... Gyu?"
"Love, boleh aku memelukmu?" Wonwoo bingung dengan pergerakan Mingyu yang tiba-tiba, ia hanya mengangguk pasrah dalam dekapan erat suaminya.
Baru kali ini Mingyu merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Ia takut dengan kondisinya saat ini dengan sakit yang tiba-tiba datang. Mingyu tidak pernah bisa membayangkan jika ia tertakdir harus meninggalkan Wonwoo-nya, berbagai macam perkiraan buruk hinggap di kepalanya. Bagaimana Wonwoo menjalani hari-harinya jika ia tidak ada. Siapa yang akan mengingatkan Wonwoo jika pria manis itu melupakan berkas penting yang harus ia bawa ke kantor. Apakah akan ada yang memastikan bahwa Wonwoo tidak melewatkan makan siangnya jika ia sedang sibuk mengurusi pekerjaannya yang tak habis-habis.
"Mingyu ... Kau memelukku terlalu erat. Aku tidak bisa bernapas." Tangan ramping milik Wonwoo menepuk-nepuk punggung Mingyu dengan lembut.
"Ah ... Maafkan aku sayang. Aku terlalu merindukanmu."
"Wonie, juga merindukan Gyuie ... Hihi ..." Ujung hidung bangir milik Wonwoo berkerut ketika ia tertawa dan bertingkah imut.
Membuat Mingyu tak mampu menahan diri untuk menjatuhkan pelukan lagi dan lagi pada rubah kecilnya yang manis. Mungkin Tuhan akan berubah pikiran jika melihat cinta di antara mereka berdua, yang Mingyu inginkan saat ini hanyalah tetap hidup dengan sehat agar mampu menjalani hari-harinya dengan Wonwoo.
"Wonie-ya ... I wanna be your home. The place that you know where to go and take a good rest peacefully after a long exhausting day."
"You'll always be my home, Mingyu ..."
~~~
P.S.
Diskusi kita memang kadang random, apalagi dengan latar belakang pendidikan dia yang anak teknik, ya sebagaimana cowok teknik aja gitu. Ah bodo gue selalu adoring cowok teknik dengan tingkat curiosity-nya yang tinggi.
Tenang ini sakitnya Mingyu nggak akan bikin work ini jadi angst kok, ini isinya bakal tetep sweet and fluffy.
Selamat membuka kotak Pandora!

KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet [Meanie] ✓
FanfictionBittersweet moment kehidupan pernikahan Jeon Wonwoo dan Kim Mingyu, apa jadinya?