2. Takdir Pelik

5.9K 391 8
                                    

"Ini dibaca waqaf," kata seorang pemuda yang mengenakan pakaian atasan koko dengan bawahan sarung kotak-kotak berwarna cokelat sembari menunjuk huruf Alquran.

Aqila mendongak, menatap pemuda yang sedang mengajarinya membaca Alquran. Yang ditatap mendengkus, membuang muka.

"Apa fungsinya belajar kalau tidak niat?" tanyanya. Matanya membius, tajam menuklik bak mata elang yang berwarna hitam legam.

Sedetik.

Pandangan keduanya bertemu, saat-saat di mana kedua pasang mata itu beradu pandang.

Dada Aqila berdesir. Angin sepoi yang meniupkan jilbab putihnya tak dihiraukan. Ia masih menatap mata tajam lelaki itu, yang tak lain adalah Faris.

"Aku lelah mengajarimu." Faris mengacak rambutnya frustrasi setelah mengalihkan pandangannya. Aqila berdehem panjang, kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Aku tahu kenapa sampai sekarang kamu masih jomblo," celetuk Aqila sembari menutup Alquran, kitab suci umat Muslim. Faris menatapnya heran.

"Soalnya kamu jelek, emosinan lagi," kata Aqila tak peduli sembari keluar dari rumah Faris. Bukan keduanya yang menginginkan, melainkan Abi Farislah yang memutuskan perihal mengapa mereka bisa berdua di rumah itu. Yang pertama, abi bisa memonitor kelakuan mereka. Yang kedua, setelah Arkham pergi kuliah ke Jogkakarta---Kakak Faris, rumah itu jadi sepi. Seperti tidak berpenghuni. Hanya ada Pak Kiai, Bu Nyai, dan Faris saja.

Faris memelototkan matanya, menatap punggung Aqila yang semakin mengecil. Pupilnya sesekali melihat kibaran jilbab yang ditiup oleh angin.

"Astagfirullah. Aku tidak menyangka akan bertemu gadis sepertinya." Ia menggelengkan kepala, kemudian kembali mengucap istigfar.

Tiba-tiba Pak Kiai datang dari kamar, menghampirinya. Duduk di dekat Faris.

"Ada apa? Di mana gadis kecil itu?" Faris menunjuk sekelebat putih yang semakin mengecil. Ia tak habis pikir. Bagaimana bisa ia dikatakan jelek? Belum pernah ia mendengar pujian itu dari orang lain kecuali dari Aqila.

"Pulang, Bi." Ia menghela napas panjang, kesal telah menduduki relung hatinya. Dingin yang bersemayam telah tergantikan oleh gundah gulana yang menerpa.

"Sepertinya dia gadis yang baik, Ris." Abi membenahkan sorbannya. Napasnya keluar teratur. Matanya menatap ke luar. Membiarkan matanya melihat sensasi ppepohonan dan tumbuh-tumbuhan yang hijau menyegarkan mata, lalu menghela napasnya panjang. Faris diam, menunggu abi melanjutkan berbicaranya.

"Abi melihat dia tidak punya teman," lanjutnya. Matanya masih menatap ke luar. Menatap kupu-kupu yang hilir-mudik, sibuk mencari bunga-bunga mekar yang berisi nektar.

"Bagaimana dia bisa punya teman, Bi. Orang sifatnya aja seperti itu. Tidak pernah niat dalam mengerjakan sesuatu." Faris mendengkus kesal. Bayangan akan perkataan Aqila tadi cukup mampu mengusik ketenangan otaknya.

Abi tertawa kecil, kemudian menepuk pundak Faris. "Begitulah susahnya mengajar, Ris. Agar mengajar mudah, kita dituntut untuk bersabar. Abi harap kedepannya kamu tidak mengulanginya." Abi bangkit dari duduknya. Azan Zuhur telah berkumandang. Mengalun indah di kedua pasang telinga mereka. Suaranya menggema, hingga ke seantero pondok pesantren.

"Semangat, Ris." Abi kembali menepuk Faris. Kali ini di punggung, seolah menguatkan, lalu keluar menuju Masjid.

Faris menatap abinya melongo. Hei, lihat. Setelah kejadian ini abinya tak kunjung iba kepadanya. Harapannya agar abinya mengatakan berhenti mengajari gadis menyebalkan itu kini telah sirna. Dengkusan kembali terdengar dari dirinya. Demi apa harus mengajari gadis menyebalkan seperti Aqila? Ia harus menguatkan mental terlebih dahulu.

Aqila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang