Angin sepoi malam menerjang ubun-ubun kedua manusia itu. Di sepanjang jalan tidak ada yang berani memulai percakapan. Sekadar menyapa pun tidak. Mereka kalut dengan hati masing-masing.
Menurut Aqila, Faris masih saja seperti dulu. Wajahnya tetap bersinar, dengan paras rupawan. Tatapan tajam pemuda itu masih menjadi sebuah ciri khas. Dan, satu lagi: dia masih menyebalkan seperti dulu.
Pun dengan Faris yang juga ikut merasakan gejolak cinta. Dada pemuda itu bergemuruh, berdesir ketika menyadari seorang gadis sedang berada di belakang. Gadis yang selama ini selalu hadir dan menjadi bunga tidur di mimpinya. Gadis yang selalu menguasai otak dan memerintah detak jantung sekaligus hatinya. Gadis yang sama saja menurutnya: menyebalkan. Tetapi sayangnya, sifat itu cukup mampu membuatnya dirundung rindu.
Dua remaja itu menikmati waktu malam hari dengan memandang trotoar jalanan Salatiga. Lampu pijar menyala dipasang berjejeran dengan jarak agak jauh sepanjang jalan. Tak sengaja, mereka melewati jantung kota.
Warung-warung makan mulai menyalakan lampu, para pedagang kaki lima di jam-jam seperti ini sedang mendirikan tenda, hingga warung makan kecil—mereka menyebut warung nasi kucing, telah mulai beroperasi.
Kadang, di beberapa jalan dipenuhi oleh mobil yang diparkirkan sembarangan. Beberapa dari mereka mungkin hanya ingin sekadar menghirup udara di malam hari. Duduk-duduk di kursi yang telah disediakan oleh pemerintah sepanjang trotoar jalan Jenderal Sudirman.
"Ris ...." Akhirnya Aqila membuka percakapan. Meski angin malam sudah membuat jilbabnya berkibar, rasa gugup terhadap seseorang di depannya tak juga sirna.
"Ya." Faris menjawab sekenanya. Ia masih fokus menyetir sepeda motor. Entahlah, separuh hatinya sedang sedang, sisanya berwarna masam. Pahit.
Matanya menembus kabut malam. Lalu lalang kendaraan tak dihiraukan. Otak Faris kembali memutar kejadian sebelumnya, yang membuat pemuda itu harus nekat pergi waktu Magrib dengan sepeda motor abah.
"Kamu tahu rumahku di mana?" Lima kata itu sukses membuat Faris memberhentikan motor. Aqila mendengkus. Pantas saja, sejak tadi hanya muter-muter Salatiga—awalnya gadis itu mengira jika Faris melakukannya dengan sengaja.
Ah, hipotesisnya benar-benar keliru. Sejak tadi pemuda itu mengajaknya keliling dan menyusuri Salatiga bukan karena sengaja, melainkan Faris tidak tahu rumahnya.
"Kamu menyebalkan!" Aqila kembali cemberut, mendelik menatap punggung Faris. Dari kaca spion, dilihatnya Faris memasang tampang datar—tidak merasa bersalah—dengan masih melihat-lihat trotoar, seolah mencari sesuatu.
"Turunkan aku sekarang!" Aqila bersungut-sungut, saat sejak tadi Faris tak juga merespons perkataan dan luapan marahnya.
Dua detik berikutnya, Faris berhenti. Wajah Aqila pucat. Biasanya, di sinetron-sinetron, jika sang gadis berkata seperti itu, maka sang laki-laki akan berusaha mati-matian untuk tidak menurunkannya. Berbanding terbalik dengan perlakuan Faris saat ini.
"Kam-kamu beneran ....," Kata gadis itu saat melihat Faris yang turun, membuat Aqila terpaksa harus ikut turun.
Pemuda itu berjalan menuju masjid. Punggungnya hilang bak ditelan kabut malam. "Kita belum salat Magrib."
Bergegas Aqila menyejajarkan langkah dengan Faris, berjalan menuju masjid.
Kedua remaja itu berpisah menuju padasan masing-masing. Faris ke kanan, Aqila ke kiri. Setelah mengambil wudu, dada Aqila berdesir hebat saat melihat Faris yang mulai menyiapkan diri untuk salat.
"Ris," kata Aqila. Faris menoleh, menatap gadis itu yang pipinya memerah.
"Kita mau jamaah?"
Jamaah Magrib telah usai setengah jam yang lalu. Masjid sepi, hanya ada beberapa anak yang sibuk membaca Alquran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aqila [END]
SpiritualAn amazing cover by. @kiikii- (Teen Fiction - Spiritual) Blurb: Fitrah manusia itu mencintai dan dicintai. Sekelumit kisah kadang hadir di tengah-tengah untuk mewarnai. Allah telah menetapkan skenario yang indah untuk setiap hamba-Nya. Salatiga, di...