Aqila menatap hamparan danau yang meluas. Dalam benaknya terus berpikir siapa yang menjadi dalang di balik semua peristiwa ini.
Mengapa orang itu tega sekali? Siapa pun itu, pasti orang yang tidak mempunyai hati; menyimpulkan secara sepihak tanpa tahu kejadian pasti.
Kali ini, gadis itu benar-benar menghela napas pelan. Arsyi yang duduk di samping dan mengoceh beberapa menit terakhir tak dihiraukannya.
Sinar sang surya menerpa badannya. Kini, pusat tata surya itu berada tepat di atas kedua gadis itu. Untung saja, terpaan angin dari timur sedikit membantu mereka. Tumbuhan melambai-lambai mengikuti arus sang udara bergerak.
Nyaman. Tempat ini benar-benar nyaman. Setidaknya, dengan merasakan semilir angin itu mampu membuatnya sedikit rileks. Pohon-pohon di sini cukup rindang, sedap dipandang telanjang mata.
"La?" Arsyi menatap Aqila sebal. Pasalnya, sejak tadi ia bercerita ternyata tidak didengar. Antusias cerita, tetapi malah cuma masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Aqila tersentak, lamunannya terhenti saat melihat sebuah jemari lentik tengah melambai di depannya.
"Kamu itu sedang memikirkan apa?"
Gadis itu bergumam pelan, seperti memikirkan sesuatu. Di depannya, sudah ada Arsyi yang menatap heran.
"Sudahlah, lupakan. Ini sudah siang. Mereka pasti mencariku," kata Aqila. Mata gadis itu awas menatap pergelangan tangan yang di sana tersemat sebuah jam tangan kecil berwarna ungu muda bermotif kupu-kupu di sudut kaca. Jam tangan pemberian Ilham beberapa waktu yang lalu sebagai hadiah ulang tahunnya.
Ia suka. Hampir semua yang ia sukai adalah saat-saat ini. Saat di mana ia benar-benar merasakan menjadi seorang anak, saat di mana ia benar-benar merasakan menjadi gadis seperti gadis yang lain.
Kembali, ia jadi teringat dengan keenam saudaranya. Bagaimana kabar mereka? Vanila, Kanolla, Mikha, Joyce, Tania, dan Dian? Apakah hidup mereka juga sepertinya, duduk di kursi empuk dan tidak ada kutunya lagi, memakan makanan yang enak dan tidak lagi merasakan basinya nasi, beristirahat di ranjang nyaman dan tidak beralaskan hanya tikar lagi.
Arsyi berdeham, kemudian menggiring tubuhnya menjauh.
"Mau ke mana, Syi?"
"Kita kembali ke sana. Kamu nanti akan dicari, kan? Aku lupa jika kamu sekarang sudah punya keluarga. Selamat, ya." Arsyi tersenyum. Terang sekali, seperti rembulan malam yang bersinar. Matanya juga teduh.
Aqila mempercepat langkahnya untuk menyeimbangi jalan Arsyi. "Kamu harus bersyukur, Syi. Kamu tidak dilahirkan sebagai gadis yatim-piatu."
"Semua dilahirkan menjadi yatim piatu, La. Apa kamu sudah lupa jika tidak selamanya kita hidup di dunia yang fana ini? Tidak selamanya, kan, orang tuaku hidup kekal? Sehebat-hebatnya makhluk, tidak ada yang bisa mengalahi ketetapan-Nya, menghindar dari hukum alam-Nya, yaitu kematian."
Aqila diam, masih tetap berjalan. Sahabatnya itu selalu benar. Ia tak bisa menyangkal pernyataan dari Arsyi.
"Kamu itu harus bersyukur, La. Diberi keluarga baru yang sangat menyayangimu. Mereka bahkan menganggapmu seperti anak sendiri," lanjutnya, yang mampu membuat Aqila bungkam, diam seribu bahasa.
Sejauh mata memandang, keramaian sudah tampak. Para santri memberesi beberapa kursi, menumpuknya dan membagi hingga beberapa tumpukan. Sebagian santriwati tampak menyapu sampah yang bertebaran—sebelum disapu oleh angin.
Dada gadis itu berdesir hebat saat melihat tempat yang tadi dijadikan sebagai tempat peristiwa sakral itu terjadi. Bedanya, sekarang sudah tidak terlalu menyesakkan dibanding tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aqila [END]
SpiritualAn amazing cover by. @kiikii- (Teen Fiction - Spiritual) Blurb: Fitrah manusia itu mencintai dan dicintai. Sekelumit kisah kadang hadir di tengah-tengah untuk mewarnai. Allah telah menetapkan skenario yang indah untuk setiap hamba-Nya. Salatiga, di...