Sudah empat hari sejak kabar itu beredar, setiap kali Faris ikut salat di masjid, selalu menjadi pusat perhatian.
Kadang hanya ingin membeli kopi suruhan Kiai ke warung dekat pesantren yang biasa dijadikan nongkrong anak laki-laki pun rasanya ia minder. Banyak dari mereka menatap heran Faris. Di antaranya pun menatap pemuda itu dengan tatapan iba.
Lima hari yang lalu, pemuda itu resmi kembali ke masa lajang. Perceraian berjalan mulus tidak ada hambatan. Syok masih menggelayuti dirinya. Bahkan tak habis pikir, jika Aina mencintainya, mengapa tidak membujuk abahnya untuk membatalkan khuluk itu?
Ataukah jangan-jangan ... Aina sudah tidak mencintainya?
Pandangan pemuda itu kosong, menerawang udara di depan. Saat hati sedang gundah gulana, biasanya ia datang ke suatu tempat.
Langkah pemuda itu sedikit menyeret, dengan tatapan masih kosong ke depan. Berjalan menuju sebuah tempat yang biasa ia jadikan sandaran dan teman di saat hatinya sedang tidak baik.
Beberapa langkah tercipta. Faris benar-benar sidah sampai ke tempat tujuannya. Danau ini.
Sayang, bayangan terenyuhnya semakin menjadi saat melihat danau ini. Danau yang dulu selalu memberikannya ketenangan dan gambaran keceriaan, kini malah semakin menyayat hatinya.
Bayangan seorang gadis berjilbab merah muda hadir di kepalanya. Dengan menari-nari di samping tanaman bunga, tersenyum bahagia dan berlari kecil meraih kupu-kupu. Selang beberapa menit kemudian berlarian ke arah danau, menghentakkan kaki ke air sehingga menimbulkan bekas riakan.
Sedetik kemudian, mata gadis itu berkaca saat melihat gamis kesayangannya terkena cipratan air. Hidungnya kembang kempis, lucu sekali jika dipandang.
Mata kecil bundarnya menatap seseorang yang baru saja datang. Seseorang yang berumur sepertinya. Sayang, seseorang itu menatapnya sebal.
"Aku ...." Mata gadis kecil itu berkedip, mulutnya mengerucut, sembari mencoba menahan tangis.
"Aku ...."
Sedetik setelah mengucapkan itu, tangisnya pecah. Hidung gadis itu memerah, kembang kempis sembari tangan kanan menjinjing gamis yang basah.
"Sudah kubilang, kan, jangan terlalu suka main air!"
Gadis itu semakin mengeraskan suara saat mendengar perkataan yang terlontar dari seseorang di depannya.
"Kenapa kamu jahat sekali sih, Ris!" bentak Aqila di antara tangisnya yang tersedu-sedu.
"Aku tidak jahat. Kamu saja yang keras kepala. Memangnya kamu yang mencuci baju itu? Bukan, kan? Dasar. Tidak kasihan sama umi."
"Tapi, kan, tidak seperti itu! Aku tidak sengaja!" Napas Aqila tersengal, tangisnya belum saja selesai.
Faris kecil memasang wajah sebal. Sebal sekali-untuk memasang wajah datar bukan saatnya.
"Kubantu ke atas," kata Faris dingin. Pemuda itu menjulurkan tangan kanannya, yang oleh Aqila, dibiarkan sedetik.
"Tidak mau kubantu ya su-"
"Iya deh, iya." Aqila cemberut, kemudian menggapai tangan Faris, ingin cepat-cepat ke atas dan menyelesaikan semua ini-berganti pakaian.
Faris menatap Aqila yang sedang berusaha naik ke atas dengan tatapan remeh. Ingin sekali ia mengejek: Dasar pendek, segini saja tidak sampai. Namun ia urungkan.
Tugas yang menyebalkan! rutuknya dalam hati.
Semenjak Aqila datang ke sini, ia mempunyai tugas tambahan lagi; ia harus bermain dengan gadis itu. Tidak hanya bermain, ia juga harus menjaga gadis kecil itu. Gadis kecil ... yang baru saja ia kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aqila [END]
SpiritualAn amazing cover by. @kiikii- (Teen Fiction - Spiritual) Blurb: Fitrah manusia itu mencintai dan dicintai. Sekelumit kisah kadang hadir di tengah-tengah untuk mewarnai. Allah telah menetapkan skenario yang indah untuk setiap hamba-Nya. Salatiga, di...