"Sa-saya kenapa?" Aqila menunduk, merasakan debaran hati yang tak tenang. Biasanya, orang yang langsung dipanggil ke rumah kiai adalah dia yang mempunyai banyak masalah. Ia melakukan kesalahan apa?Pak Kiai, Faris, umi, dan Adib menatap Aqila. Wajah lelaki tua itu tampak tenang, tidak seperti tempiasan air hujan. Gurat matanya menenangkan. Beliau duduk di depan Aqila. Di samping kanan ada Adib, samping kiri ada Faris, dan umi berdiri di dekat pintu dapur.
Malam itu suasana mencekam. Aqila, gadis lugu yang baru saja merasakan kebahagiaan itu kini kembali menyelami lautan duka lara.
"Dia tidak mengaku, Pak Kiai. Tempo hari dia yang ngambil uang saya." Gadis yang menangis di ranjang itu bersuara, menjadi seorang pendakwa. Suaranya lantang di sela-sela isak tangisnya memecah keheningan malam.
Aqila diam. Berpikir cepat. Apa yang akan dilakukan? Gadis itu memegang erat-erat roknya. Kelopak itu semakin lama semakin berat, menampung linangan air mata yang banyaknya tiada tara.
"Bukan saya, Pak Kiai. Bukan saya pelakunya," kata Aqila dengan nada bergetar. Kelopaknya berkaca, menatap lurus ke tanah.
"Maling mana ada yang mau ngaku. Memang sejak kecil sudah pandai mencuri."
Tiba-tiba air mata yang mati-matian yang ia jaga akhirnya terjatuh juga. Kapan ini akan berakhir?
"Apa buktinya kalau Aqila yang ngambil uangmu, Nduk?" tanya Pak Kiai tenang. Suara baritonnya mendamaikan jiwa. Sorot mata yang sudah tua itu berkarisma. Jelas sekali beliau adalah orang yang berpamor. Selalu tenang dan dewasa dalam menghadapi masalah.
Empat detik lengang. Hanya bersisa jangkrik yang bersuara di alam luar sana, berkawan dengan dingin dan sepi.
"Kang Adib buktinya!" Gadis itu menunjuk Adib. Semua mata tertuju pada Adib. Aqila mendongak, menatap Adib yang terkejut.
"Ceritakan jika Aqila pernah mencuri es buah Akang!"
Deg!
Detik itu kembali lagi. Jantung Aqila seperti berhenti. Jika Adib menceritakannya, nasib apa yang akan menanti?
Ia menatap Adib lamat-lamat. Adib menatapnya sedetik. Apa yang harus dilakukannya? Tetap bercerita, atau diam saja? Gundah gulana menerpa relung hati pemuda itu.
Sedetik berlalu, Adib mengembuskan napas berat. Sepertinya ini pilihan yang susah untuk Adib.
Faris membelalakkan mata. "Bener, Kang?" Adib mengangguk, mengiyakan.
Hancur, lebur hati Aqila. Pecah menjadi kepingan-kepingan kecil. Hatinya teriris.
Lelaki tua itu menatap wajah pilu Aqila. Sorot matanya berubah sendu.
Malam itu, hal yang tidak diinginkan Aqila terjadi. Bulan seakan menjadi saksi bisu atas sebuah kejadian. Kejadian di mana besok pagi-pagi ia harus pergi dari pondok ini. Menyakitkan memang. Tapi, mau bagaimana lagi? Air mata gadis itu sedikit demi sedikit menetes. Air mata yang sedari tadi ia jaga mati-matian akhirnya jatuh juga. Kelopak mata itu sudah tak mampu lagi menahan beban banyaknya air mata.
"Maafkan kami, Nduk ...."
Kali ini, tangisnya pecah, semakin menjadi. Dadanya sesak. Benar-benar menyayat hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aqila [END]
EspiritualAn amazing cover by. @kiikii- (Teen Fiction - Spiritual) Blurb: Fitrah manusia itu mencintai dan dicintai. Sekelumit kisah kadang hadir di tengah-tengah untuk mewarnai. Allah telah menetapkan skenario yang indah untuk setiap hamba-Nya. Salatiga, di...