Benarkah ....
Aqila mendongak, menatap mereka satu per satu dengan debaran hati yang begitu kencang.
Sampai pada Faris, jantung gadis itu semakin menjadi. Terlebih saat pandangan keduanya bertemu. Timbul desiran yang tidak akan pernah hilang dari hati Aqila saking dahsyatnya.
Benarkah ... sebentar lagi aku akan menjadi istrinya? Begitulah terkanya dalam hati.
"Aku tidak bisa memutuskan. Biarkan anakku yang memutuskannya sendiri. Maukah kamu menerimanya, La?"
Setelah perkataan itu, sedetik lengang. Tidak ada satu pun yang menjadi pengisi suara di sekitar mereka. Jantung Aqila berdegup kencang, grogi telah menjalar ke seluruh badannya. Keringat dingin mengucur di dahi.
"S-saya ...," kata Aqila menggantung, debaran kali ini lebih kencang dari biasanya.
Bisakah ia menahan kebahagiaan ini sebentar untuk dinikmati lebih lama?
"Saya menerimanya," kata Aqila dengan intonasi nada yang bergetar. Semua yang di sana tersenyum, tak terkecuali Faris yang juga ada di sana. Dalam hatinya tengah berbunga-bunga, akhirnya bisa bersanding dengan gadis sang cinta pertama.
Setelah mengatakan itu, dada Aqila lega. Seperti sudah tidak ada beban. Kemudian, menatap Faris yang juga menatapnya.
Faris ... calon suaminya. Gadis itu tersenyum. Terlalu indah jika dipikirkan. Faris, pemuda yang suka berkelahi dengannya kini malah datang ke rumahnya untuk melamar.
Sebentar lagi, ia akan menjadi istri sah Faris? Benarkah demikian? Tidak bohong, kan?
Senyum Faris masih saja indah. Remaja itu dapat melihat saat tak sengaja Faris melempar senyum kepada dirinya.
Bukankah tidak apa-apa membayangkan senyum calon suami? Tidak zina, kan?
Seperti tersetrum petir, mereka kembali merajut cinta.
"Mau kapan kalian melaksanakan akad nikah, La, Dib?"
Deg!
Dib? Adib? Senyum Aqila yang tadi mengembang perlahan menghilang, begitupun Faris. Mereka berdua menatap ke arah Pak Kiai.
"Saya sih terserah, Kyai," kata Adib sembari tersenyum.
Faris yang tadi bibirnya merah merona, kini menatap Adib yang berdiri tak jauh darinya dengan serius.
Benarkah abi melamarkan Aqila untuk Adib? Tidak salahkah ini?
Bayangan tentang beberapa saat yang lalu masih terngiang di kepala pemuda itu.
"Kita ke rumah Aqila ada keperluan apa, Bah?" tanya Faris buru-buru saat mereka tengah berjalan menuju mobil sewaan. Pak Kiai sungguh sederhana, banyak sekali orang yang sudah berbicara kepadanya tentang mobil, tetapi kata beliau, 'Saya lebih suka dengan sepeda motor yang diberikan abah saya. Kalaupun nanti saya membutuhkan, saya akan menyewa saja tidak apa-apa. Toh jika membeli mobil tidak akan selalu digunakan. Orang tua seperti saya akan pergi ke mana?' katanya saat salah seorang orang tua santri berkata kepada beliau.
"Urusan penting, Ris."
"Urusan penting apa, Umi? Kenapa sampai membawa barang-barang itu?" tanya Faris kepada Bu Nyai yang duduk tak jauh darinya saat melihat Adib tengah membawa buah-buahan menuju mobil.
"Ngelamar, Ris." Pak Kiai tersenyum, duduk di samping Faris.
'Abah ingin melamarkan Aqila untukku?' tanyanya tertahan sampai kerongkongan, bertahan hanya sampai ingatan.
Ia tak berani bertanya, terlebih dahulu percaya diri tanpa tahu ada seorang pemuda selain dirinya yang juga jatuh cinta kepada Aqila.
Sekarang ia tahu jawabannya. Semua terasa lebih jelas daripada tadi saat ingin berangkat ke sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aqila [END]
SpiritualAn amazing cover by. @kiikii- (Teen Fiction - Spiritual) Blurb: Fitrah manusia itu mencintai dan dicintai. Sekelumit kisah kadang hadir di tengah-tengah untuk mewarnai. Allah telah menetapkan skenario yang indah untuk setiap hamba-Nya. Salatiga, di...