22. Lihatlah Sesuatu dengan Hati

3K 224 0
                                    

"Lihatlah sesuatu dengan hati, jangan dengan mata. Karena apa yang kamu lihat dengan mata belum tentu benar."

"Maksudnya apa, Bah?"

Pak Kai diam, menatap Faris dalam-dalam sebentar, kemudian menghela napas panjang.

"Abah pun syok dengan ini, Ris. Tapi, tadi siang abah dapat telepon dari keluarga Aina. Istrimu itu meminta khuluk, Ris."

Deg!

"Bah, apa salah Faris kepada Aina, Bah?"

Diam. Tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan Faris. Hanya terdengar jangkrik sejak tadi yang mengisi keheningan malam.

"Abah tidak tahu, Ris. Besok Abahnya Aina ke sini. Meluruskan semua."

Hambar. Begitulah hatinya saat ini. Bukankah baru saja ia merasakan cinta dan berbunga-bunga? Satu jam yang lalu sebelum mendapat kabar dan pesan dari Aina, bukankah hatinya sedang berteman asmara?

Dada berdesir dengan menunggui pesan seorang gadis yang menjadi alasannya beberapa hari terakhir dirundung rindu, menatap kejora bersama rembulan dengan debaran roman, seakan gadis itu benar-benar sudah jadi miliknya.

Lalu, kabar apa ini?

Salahnya apa, hingga Aina mengajukan khuluk? Mengembalikan semua mahar yang diberikan, lalu tanpa alasan meminta cerai?

Apa dengan mengiriminya pesan setiap hari? Itukah alasannya? Tidak masuk akal, benar-benar tidak masuk akal. Tidak bolehkah seorang suami mengirimi pesan setiap hari kepada sang istri sebagai simbol cintanya?

Sebenarnya, apa yang terjadi?

Hanya besok yang bisa menjawab semua ini. Menjawab setiap ketidakmasukakalan ini.

***

"La, aku bisa menjelaskan semuanya, La." Langkah kaki Azhar diseret, tetapi ia percepat demi mengimbangi gadis yang berada di depannya.

"Tidak ada yang perlu penjelasan darimu, Zhar. Aku sudah tahu semuanya. Bukankah sudah kukatakan kemarin?"

Kali ini, langkah pemuda itu tidak lagi terdengar. Mata Azhar menatap punggung Aqila yang terbalut oleh jilbab sepinggang. Pesona gadis itu ... walaupun dari jauh masih saja belum pudar. Wajah cantik berseri, bulu mata lentik, kulit putih kemerah-merahan.

Ah, mungkin rasanya ia tidak tahu diri. Jatuh cinta kepada seorang gadis yang hatinya masih milik orang lain.

"Mengapa ... mengapa kamu tidak butuh penjelasanku?" katanya parau. Aqila, gadis yang tadi membelakangi pemuda itu kini membalikkan badan, menghadap Azhar yang berdiri dengan sandaran tembok. Beberapa kali ia meringis saat rasa nyilu menggelayuti setiap urat nadi. Kaki pemuda itu seperti mati rasa.

"Mengapa aku butuh penjelasanmu jika aku saja sudah mengetahui semuanya? Berapa kali harus kubilang, Zhar." Aqila menghela napas pelan.

Sedetik kemudian, mata Aqila berkaca. "Bukankah setiap saat aku menceritakan Faris kepadamu? Saat pulang sekolah, belajar bersama, atau bahkan sekadar mengobrol kecil di kantin? Tidak menutup kemungkinan juga, kan, kamu tidak mengenal Faris? Ditambah fakta-fakta yang kusebutkan kemarin? Kamu santri di sana. Mengapa kamu tidak berkata jujur saja, Zhar? Mengakui jika kamu yang mengadukan semuanya ini kepada Pak Kiai dengan membuntuti kita ...?"

Azhar diam, menatap bulir-bulir air mata yang jatuh dari wajah Aqila. Gadis itu ... benar-benar tidak pudar pesonanya walaupun sedang menangis sekalipun.

"Dan yang terpenting, apa salah kita kepadamu, sampai kamu tega melakukan itu ...." Gadis itu melirih. Menangis di depan seorang laki-laki yang baru saja ia anggap sebagai sahabat. Sayang, predikat itu tidak berlangsung lama, setelah lelaki di depannya mengadukan semua. Bahkan, kunci dari sumber segala penderitaannya.

Aqila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang