Suasana di pondok menjelang jam enam pagi seperti biasa, ramai oleh santriwan-santriwati yang sedang mulai melakukan aktivitasnya.Mentari merekah, menyiram pondok pesantren kuno itu dengan sinar hangatnya. Cericit burung mengalun indah ke kuping para calon mujahid yang ada di sana. Tampak sekali, seorang lelaki yang membawa sebuah bingkisan kecil tengah berjalan menuju komplek pondok pesantren dengan hati yang berbunga-bunga.
Dadanya berdebar saat kembali mengingat senyum merekah dari Aqila. Mata lentik, alis tebal, hidung runcing, cukup mampu membuat hati pemuda itu jatuh cinta tak terkira.
Lihatlah, seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang mampu mempora-porandakan hatinya kini baru saja pergi. Dengan senyum tipis ia masuk di bus tanpa suatu gurat kesedihan yang tampak.
Apakah ia tidak merasa terguncang saat Pak Kiai menyuruh untuk angkat kaki dari sini? Tiadakah dendam dalam diri gadis belia itu?
Ah, salah, rutuknya.
Benar-benar salah. Mengapa aku menceritakan semua kejadian itu? Mengapa? Helaan napas berat terdengar dari mulutnya.
Tak terasa kakinya telah menyentuh tanah pondok. Asri sekali sejauh mata memandang. Semilir angin datang dari timur. Beberapa santri yang tak sengaja bersua menegur sapa.
Ya Allah .... Semoga cinta ini membawa kebaikan untukku.
***
"Memang aku kenapa?" Pemuda dengan perawakan tegas berparas tampan menatapnya kesal. Gadis di depannya selalu bersungut-sungut, keras kepala.
"Kamu itu yang membeli ikan tidak becus! Lihat, ikan kecil segini saja kamu beli lima ribu rupiah! Padahal ini kalau ditawar bisa sampai setengah harga. Dasar, pemuda yang tidak bisa berbelanja!"
"Laki-laki memang ditakdirkan tidak berbelanja! Kamu seharusnya yang berbelanja!" Faris makin sebal menatap Aqila yang sedang sibuk menghitung uang. Ia kembali mengacak rambut frustrasi.
Mengapa ia yang harus menemani gadis itu membeli bahan untuk memasak pondok? Tidak bisakah lelaki selain dirinya? Kang Adib misalnya. Ia menghela napas panjang. Menyebalkan, ini sungguh menyebalkan.
"Dasar, uang kita tidak cukup kalau mau beli bayam. Tinggal seribu. Buat apa?" Aqila menatap sengit Faris. Faris mengangkat bahu.
"Aku saja terus yang disalahkan. Siapa suruh aku yang beli ikan? Ya sudah kamu saja yang beli semuanya." Faris mengembalikan daftar belanjaan bulanan.
Mengapa tidak menyuruh seseorang saja, sih? cercanya dalam hati. Ia mendengkus. Jika saja tidak ada orang yang berlalu-lalang, ia pasti sudah meninggalkan gadis itu. Atau paling tidak mematahkan argumen tidak jelas Aqila yang selalu memarahinya.
"Kamu memang tidak bisa menawar, ya." Aqila membenahkan jilbab cokelatnya sembari memegangi dua plastik besar berisi belanjaan bulanan. Kemudian meletakkan salah satunya di lantai, mengambil daftar belanjaan itu.
"Nih, kamu yang membawa," katanya sambil memberikan sekantong plastik hitam. Faris terbelalak. Aku? batinnya. Aqila mengangguk patah-patah.
"Kamu yang membawanya, aku yang membeli. Uang kita tinggal sedikit."
Faris menggeleng, pertanda keberatan. Tetapi sayang, Aqila terlihat sudah memulai transaksi jual beli.
Sudut bibirnya mengembang saat melihat gadis yang baru saja membuat suasana hatinya memburuk sedang memajukan bibir. Sejurus kemudian, ia mengotot. Memegang bayam serius-serius dengan muka lucu. Saat tidak berhasil, ia memasang wajah sebal, berbalik badan. Berpura-pura meninggalkan penjual dan tidak membutuhkan bayam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aqila [END]
SpiritualAn amazing cover by. @kiikii- (Teen Fiction - Spiritual) Blurb: Fitrah manusia itu mencintai dan dicintai. Sekelumit kisah kadang hadir di tengah-tengah untuk mewarnai. Allah telah menetapkan skenario yang indah untuk setiap hamba-Nya. Salatiga, di...