13. Seperti Lilin

3.2K 233 0
                                    

"Argh!"

Para manusia berkumpul di satu titik. Berkerumun sembari menatap seseorang yang berada di tengah-tengah bundaran yang diciptakan mereka dengan menggigit bawah bibir.

Kengerian itu berlangsung hampir satu jam. Jeritan  gadis bertebaran di mana-mana.

Di tengah situ, berdiri Faris yang tangannya terikat di belakang. Gigi pemuda itu bergemeletuk, sekali lagi menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuh.

Tak jauh dari sana, seorang wanita menyaksikan. Ia menangis tersedu, menjerit-jerit histeris, kemudian menghampiri lelaki paruh baya yang tidak jauh darinya.

"Bah, sudahlah, Bah .... Maafkan Faris," katanya lirih sambil masih sesenggukan. Hatinya perih saat menyaksikan itu, rintihan demi rintihan yang keluar dari bibir Faris.

Semakin kuat cambukan itu yang menyabet tubuh Faris, pemuda itu semakin kuat menggigit bibir bawah.

"Abah ... maafkan Faris. Dia itu anakmu!" Umi menatap iba Faris yang kondisinya sudah sangat buruk. Berdiri di tengah-tengah kerumunan selama satu jam dengan pecutan-pecutan yang kemudian mengenai punggungnya.

"Dia mendekati zina, Mi. Zina ... biarkan ia jera."

"Tapi dia anakmu, Bah ...." Umi mencoba menghentikan semua ini. Masih saja, lelaki paruh baya itu belum juga memindahhaluankan keputusannya.

Aqila, gadis itu dengan menaiki kursi lalu ditumpuk-tumpuk, menyaksikan peristiwa itu dengan pilu.

Dadanya sesak saat melihat kondisi Faris yang memprihatinkan.

Satu jam sudah Faris dicambuk, berdiri di tengah-tengah sebagai tontonan oleh warga pondok pesantren.

Bukankah ini terlalu kejam?

Bukan hanya rasa sakit, tapi juga malu.

Andai saja ... andai saja ia dapat memutar kembali waktu. Takkan ia terima ajakan Faris kemarin.

Andai saja.

Sesal bukan main hatinya saat ini. Dalam relung selalu menyalahkan diri sendiri.

"Argh!" Kali ini suara Faris semakin keras, pecut itu mengenai badannya sepersekian detik dengan kekuatan penuh.

Tiba-tiba air mata gadis itu mengalir deras. Dadanya sesak, mendengar teriakan kesakitan dari Faris.

Maafkan aku, Ris ... maafkan aku ....

Mata gadis itu menatap Adib yang berada tak jauh dari Faris.

Kang Adib, tolong Faris! Tolong! Apa-apaan ini?

Nyatanya, Adib juga tak mampu membuat peristiwa ini berhenti. Lelaki yang dulu menyalamatkan Aqila sekarang hanya bisa memandang Faris dengan pandangan yang tidak bisa dideskripsikan; sedih, kecewa, dan khawatir campur menjadi satu.

Sedih dan kecewa saat mendengar Faris pergi bersama seorang wanita, khawatir jika pemuda yang sudah ia jadikan sebagai adik itu kondisinya yang sekarang memprihatinkan. Tidak ada yang bisa dilakukan Adib selain berdiri lalu menggigit bibir bawah saat mendegar teriakan kesakitan dari Faris.

Sepertinya, kondisi tubuh Faris semakin berkurang. Kakinya yang berdiri sekarang bergetar. Sejurus kemudian, tubuh pemuda itu oleng masih dengan tangan diikat di belakang, diikuti oleh teriakan semua gadis yang menyaksikan.

Sungguh, tubuh Faris sudah terjalar rasa sakit yang teramat sangat.

Faris ..., kata Aqila dalam hati sambil menyeka air mata dengan kedua tangannya.

Aqila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang