"Makanya, jangan naik ke atas kursi lagi." Pemuda itu menatap Aqila yang masih mengelus lembut kakinya yang terkilir di atas ranjang UKS. Ia mendengkus saat matanya menangkap sesosok di depannya dengan cekatan memberikan obat merah kepadanya.
Saat keadaan belum seperti sekarang ini, tepatnya satu jam yang lalu, kaki Aqila terkilir saat melihat sebuah tikus dengan spesies tubuh gemuk dan kekar tak sengaja melintasi bawah kursinya.
Spontan, gadis remaja itu menjerit histeris. Sosok kecil yang mencicit itu bagaikan monster. Belum lagi jalannya yang membuat Aqila berjinjit berusaha menjauh dari hewan pengerat itu.
Tak butuh waktu lama, kursi yang dibuat sebagai tumpuan akhirnya goyang, gadis itu hilang keseimbangan.
Terdengar bunyi bug! diikuti oleh rintihan seseorang, yang tak lain dan tak bukan adalah Aqila.
Pemuda itu awalnya menatap Aqila ragu. Ia tahu, jika Aqila adalah murid pindahan. Otomatis semua warga mengenal gadis berjilbab mungil itu. Apalagi, saat melihat gerak-gerik Aqila yang membuatnya semakin curiga. Untuk apa seorang gadis mengintip pesantren? Tetapi, belum sempat pertanyaan-pertanyaan yang meletup layaknya popcorn di otak belum sempat terjawab, Aqila sudah dulu terhuyung ke samping, badannya oleng, Kaki mungilnya sudah tak mampu menahan keseimbangan.
"Kamu ... apa yang kamu lakukan tadi?!" Aqila mendelik menatap seseorang di depannya.
Satu jam telah berlalu. Karena terlalu panik terhadap rasa sakit, ia sampai lupa jika lelaki itu ternyata memapahnya untuk sampai di UKS.
"Aku Azhar," katanya memperkenalkan diri seraya menjabat tangan tangan Aqila. Aqila diam, tidak merespons, hanya melihat tangan pemuda itu terulur.
"Oh? Maafkan aku. Aku lupa jika kita bukan mahram." Lelaki yang memanggil dirinya Azhar itu meringis, memamerkan deretan gigi-gigi putihnya sambil menggaruk-garuk kepala. Entahlah, suasananya canggung. Benar-benar canggung.
"Apa yang kamu lakukan di atas tadi?" sambungnya saat melihat ekspresi Aqila tidak akan meresponsnya sama sekali.
Sedetik lengang.
Kening gadis itu berkerut, berusaha keras memberikan penjelasan kepada seseorang yang ada di samping ranjang untuknya tidur.
"Tidak usah menjawab jika tidak ingin. Aku tidak berhak mengetahui apa yang tidak seharusnya kuketahui."
Terdengar helaan berat dari Aqila. Oke, kali ini ia akan memilih jalan itu, tidak menjawab dulu daripada ia harus berbohong. Pilihan yang tepat! Dan pemuda itu cermat.
Tiba-tiba telepon genggam milik Aqila berdering. Sebuah notifikasi muncul di layarnya, tertera nama abi di sana. Lima belas kali misscall. Tanpa sadar gadis itu telah mengkhawatirkan seisi rumah.
"Kenapa tidak diangkat?" Melihat Aqila yang masih berkelut dengan pikiran, suara pemuda itu membuyarkan lamunannya. Ia menyengir sedikit, garuk-garuk kepala tidak jelas.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. Kamu di mana, La? Abi mencarimu di tempat biasa abi menjemput tetapi kamu tidak ada. Kamu sekarang di mana? Umi sama nenek mencemaskanmu."
Aqila seperti memikirkan sesuatu. Ia berkata pendek, jawabanya seperti rel kereta api yang masih lama ujungnya jika didengar. Gadis berjilbab itu ber-em panjang, keningnya mengernyit.
"Maaf, Bi. Aqila ...."
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa, Bi. Aqila nanti pulang sendiri saja. Tidak papa, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aqila [END]
SpiritualAn amazing cover by. @kiikii- (Teen Fiction - Spiritual) Blurb: Fitrah manusia itu mencintai dan dicintai. Sekelumit kisah kadang hadir di tengah-tengah untuk mewarnai. Allah telah menetapkan skenario yang indah untuk setiap hamba-Nya. Salatiga, di...