10. Terlalu Berharap

3.4K 245 0
                                    

Sejauh ini ... benarkah aku yang terlalu mengharapkanmu?

"Perkenalkan, nama saya Aqila Misha Shafana. Mohon bantuannya teman-teman." Ia tersenyum, menatap ke penjuru ruangan. Tersurat senyuman kecil dari mereka.

"Baik Aqila, silakan duduk di sana," kata wanita paruh baya dengan seragam pegawai negeri lengkap sembari menunjuk bangku kosong. Aqila mengangguk, lalu duduk.

"Mari kita lanjutkan perjalanan kita. Sampai mana kemarin?" Siswa menjawab serentak, menggema hingga langit-langit ruangan. Pagi itu, mereka melanjutkan pelajaran. Tahun ajaran baru dimulai lima hari lalu. Terpaksa, Aqila harus mengejar keterlambatan itu. Apalagi statusnya sudah kelas 3 MA.

Di kelas sana, ia menatap ke jendela. Benar-benar seperti pungguk yang merindukan bulan. Ia rindu masa-masa sekolah saat bersama Arsyila. Sedang apa sahabatnya itu? Atau, pergi bersama keenam saudara, Kanolla, Talitha, Vanila, Mikha, Josie, dan Kania.

Gadis itu menghela napas berat. Di sebuah pojok ruangan seperti dikucilkan, memasang sebentar pepohonan, menghirup udara dalam-dalam.

Bagaimana kabar Faris?

Deg!

Ah, lagi-lagi hatinya seperti teriris. Sesak menyelimuti. Berita perjodohan itu membuatnya gelisah. Benarkah ia terlalu berharap kepada selain-Nya hingga lupa cinta yang seharusnya ia limpahkan kepada sang muara?

Waktu benar-benar cepat berlalu. Pelajaran telah selesai. Bel berbunyi nyaring, anak-anak berhamburan keluar. Satu yang Aqila tahu, tak ada seorang gadis pun yang mau berteman dengannya. Ia yang terlalu tertutup atau bagaimana?

Madrasah lengang, semua siswa telah pulang. Hanya terdengar bising dari pondok pesantren. Memang, hanya diberi sekat tembok kokoh dari bata yang berhadapan langsung dengan masjid pondok.

Sedang apa mereka? tanyanya dalam hati.

Karena jemputan belum saja datang, ia putuskan keluar dari kelas. Mencari udara segar, mungkin itu alasan yang akan ia berikan saat ditanya beberapa orang guru. Mungkin karena ia pendatang baru jadi dikenal oleh warga sekolah.

Setelah beberapa langkah, akhirnya Aqila berhenti. Ia mendongak di depan sebuah tembok penyekat dua wilayah itu.

Sekali lagi, suara bising terdengar dari arah depan. Ia menatap sekitar, matanya awas mencari sesuatu.

Pandangannya terhenti saat melihat sebuah kursi kelas yang sepertinya tidak terpakai. Cat cokelatnya memudar, coretan correction pen di mana-mana.

Dengan cekatan ia menghampiri kursi itu dan lalu ia jadikan pijakan untuk mengintip suasana pondok pesantren.

Sedetik.

Dua detik.

Yang ditunggu belum saja muncul. Biasanya di jam-jam menjelang asar seperti ini, para santri berhamburan menuju masjid. Tetapi lengang. Benar-benar lengang. Berkali-kali ia mengecek keadaan pesantren itu, tetapi nihil. Hampir-hampir saja ia frustrasi. Kadang takut menyelinap di di hatinya. Bagaimana jika ia ketahuan?

Tepat pukul 15.20, azan berkumandang. Seperti dugaan, para santri berhamburan menuju masjid pondok. Tangan mereka telah menggenggam erat kitab kuning di dada. Sarung kotak-kotak, baju koko seolah sudah menjadi baju adat di sana.

Santri dewasa mengobrol sepanjang jalan menuju masjid, diikuti santri cilik yang berumur sekitar lima tahun atau di bawahnya berlarian sembari tertawa cerah. Sarung dikalungkan di leher. Mereka yang berumur belum genap tujuh tahun biasanya anak yang dipungut oleh Kiai.

Kadang ia merasa iri dengan anak-anak itu. Mereka mampu tersenyum, riang gembira melepaskan penat tentang siapa keluarga mereka di otak. Bahkan, ia malah merasa ingin terus menjadi anak kecil agar tidak terlalu memikirkan beban hidup. Apakah menyalahkan takdir atau tidak, entahlah.

Senyumnya belum saja mengembang. Seseorang yang dicari-cari belum saja menampakkan diri. Ia mendengkus sebentar, kembali menatap jeli mereka satu per satu.

Tiba-tiba dada gadis itu berdesir, saat matanya menangkap sosok yang selama ini dirindukan, hadir dalam setiap mimpi-mimpi dan menjadi bunga dalam tidurnya.

Sudut bibir Aqila terangkat, desiran hati itu kini berganti dengan gemuruh.

Menatap wajah itu selalu menentramkan hati. Kulit putih bersih, paras bercahaya.

Entahlah, rasa senang dari mana yang telah meracuni hati gadis ini. Debaran demi debaran telah dirasakan saat menatap pemuda itu.

Hanya dengan melihatnya, Aqila terpaksa harus mengukir senyum setiap saat. Ia menghela, mencoba menghilangi debaran jantung yang semakin tak keruan.

Dan di arah barat, Aqila dapat melihat seseorang yang ia kenali.

"Ris ...," panggil seseorang dari arah barat itu. Yang dipanggil Faris menengok sekilas, kemudian kembali menyambung kegiatannya. Menatap kosong ke depan menuju masjid. Adib merangkul Faris. Dilihat dari raut wajahnya, ia sedang mengajak bercanda Faris.

Aqila kembali tersenyum, kali ini lebih lebar. Jika seperti ini ia tambah merindukan pondok pesantren. Begitulah Adib, periang. Lelaki yang tempo lalu menyelamatkannya. Dengan Faris, pemuda yang super menyebalkan yang pernah ia temui.

Hanya dengan melihatmu dari kejauhan saja sudah cukup bagiku.

Tiba-tiba senyumnya memudar saat melihat wajah Faris yang murung. Benar-benar wajah yang tak pernah diperlihatkan sebelumnya. Mata Faris tajam menatap ke depan.

Ia mengikuti arah pandang Faris.

Deg!

Lagi-lagi calon istri Faris. Ia menatap Faris sambil tersenyum, manis sekali senyumnya. Bagi mereka yang melihat pasti akan terpesona.

Hati Aqila terseok. Mata gadis remaja itu berkaca. Sesak menyelimutinya, terlebih saat melihat Pak Kiai yang sepertinya sudah akrab dengan calon istri Faris.

Apalah aku dibanding gadis sesalihah dia? Cantikku pun tak ada apa-apanya dibanding gadis itu.

Hatinya sesak kembali. Air mata yang mati-matian dijaga akhirnya keluar juga.

Sejauh ini ... benarkah aku yang terlalu mengharapkanmu?

Tiba-tiba suara bariton dari arah belakang mengagetkannya. Dengan cemas jika ketahuan ia menyeka air mata, lalu mencari sumber suara.

Jika ditemuka guru, ia sudah siap konsekuensinya.

Satu, dua, tiga.

Dalam hitungan ketiga ia berbalik.

Ia tergugu saat melihat lelaki seumurannya sedang menatap heran.

"Kamu kenapa menangis?" Dahi lelaki di depannya itu mengernyit. Aqila menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari ber-em pajang—seolah sedang bingung mencari jawaban.

"Dan ... apa yang kamu lakukan di sini?" Selidiknya kembali, kali ini mata hitam legamnya menyusuri setiap inci wilayah itu.  Bahkan, hingga kursi yang dipijaki oleh Aqila.

Aqila kembali bingung, ia menatap ke penjuru tempat.

Bagaimana ini?

Aqila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang