19. Di Tepi Danau

3.2K 223 0
                                    

"Kak Adib?" tanya Aqila sembari membenahkan jilbab. Pemuda itu tersenyum menatap Aqila penuh arti.

"Apa yang kamu tangiskan?" Adib berusaha mengejajarkan kepala dengan tubuh Aqila. Gadis itu menggeleng, percuma saja bercerita kepada Adib: sama saja.

"Sebenarnya, rasa itu diciptakan oleh Sang Kuasa; pun dengan jodoh. Apakah kamu pernah mendengar pepatah 'jodoh cerminan diri'?"

Aqila mengangguk entah keberapa kali. Ia membenahkan jilbab yang sedikit basah akibat linangan air mata. Sepertinya, Adib sudah tahu arah pembicaraan mereka. Pemuda itu mendongak, menerawang langit yang luas.

"Danau ini masih sama seperti dulu-tidak berubah. Terakhir kali aku ke sini saat melihatmu sedang bersama Faris."

Adib mulai mendekati bibir danau. Menatap keindahan alam yang sudah lama tidak ia datangi, kemudian duduk.

"Hati itu asalnya dari Allah. Begitu pula dengan perasaan. Allah yang menciptakan, dan Allah pula tempat untuk kembali. Itulah hakikat hidup: dari Allah dan kembali kepada Allah. Maka dari itu, jangan menyimpan nama seseorang terlalu dalam di relung hati, karena hati mudah dibolak-balikkan.

"Simpanlah namanya, dan titipkanlah kepada Sang Pencipta, Sang Pengendali Alam ini, Allah SWT. agar siapa pun tak mampu mengambilnya darimu. Tetapi, saat kamu sudah melakukan itu hingga terlalu jauh, ingatlah, setiap ketetapan Allah adalah yang terbaik bagi kita. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri ketika memang seseorang yang selama ini kamu perjuangkan di setiap doamu ternyata bukan jodohmu. Boleh jadi, kamu terlalu baik untuknya atau sebaliknya. Hati adalah sumber dari segala sumber."

Pemuda itu belum saja beranjak dari duduk. Masih sama, menatap ke arah danau yang masih asri. Menikmati keindahan alam dengan meihat burung-burung yang hilir mudik.

Aqila menyeka air mata, menatap Adib bingung. Apa yang dimaksud 'sumber dari segala sumber'?

"Selain sebagai muara cinta dan kasih sayang, hati itu sarangnya iri, dengki, dan cemburu. Kadang seseorang mau melakukan apa pun untuk menuruti kata hatinya. Apalagi bagi mereka yang sedang merasakan kecemburuan ...," katanya menggantung. Tidak menoleh sedikit pun.

Sedangkan Aqila, mendengar kalimat terakhir itu membuat hatinya teriris. Apakah Adib sedang menyindirnya? Pipi gadia itu memerah akibat menahan marahm

"Aku-"

"Aqila!" Seorang gadis terburu-buru menghampirinya. Memasang mata dan wajah berseri, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan apa yang diinginkan.

Mata Aqila membulat sempurna saat melihat seseorang sedang berjalan ke arahnya dengan tergopoh-gopoh.

"Arsyila?" tanya Aqila meyakinkan. Arsyila semakin melebarkan sesungging senyum yang ada di bibir.

"Bagaimana kabarmu?" Aqila memeluk gadis itu dengan hati yang berbunga-bunga. Buncahan rindunya telah sampai pada titik tertinggi, hampir meletup ketika ia kembali bisa bertemu kawan lama.

"Baik, La. Kamu bagaimana? Sepertinya kamu masih seperti dulu. Tetap cantik." Melepaskan pelukan mereka.

"Kamu juga masih sama, tetap manis. Khas gadis-gadis Jawa." Aqila tersenyum saat melihat semburat merah dari wajah Arsyila.

"Apa istimewanya jadi gadis pribumi?" Pipi gadis itu semakin bersemu ketika Aqila sengaja menggodanya.

"Gadis pribumi itu selain manis, mereka juga suka ngendhika dhawuh sama suami. Manut sama suami. Katanya juga, mereka Jawa sejati itu selalu menahan badai dengan kesabaran, dan yang paling penting, selalu mengalah dari keadaan. Walau diterjang badai selebat apa pun."

Aqila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang