Dia itu ....
Aqila menggelengkan kepala saat hujan pagi ini turun. Hari Senin, seperti biasa jam-jam mepet seperti ini Salatiga macet. Beberapa mobil membunyikan klakson sebal saat lampu sudah berwarna hijau.Rintikan hujan yang mengenai mobil belum menyulutkan pikirannya tentang kemarin.
Pohon-pohon melambai akibat daunnya yang terkena tempiasan air hujan. Di mobil lengang, hanya ada Asiyah, Ilham, dan Aqila.
Mobil yang tadi membunyikan klakson, sekarang giliran seperti sedang bermain-main. Membuat jalanan yang sempit dijadikan arena pertarungan balapan.
Huft, sama saja. Tidak di kota besar ataupun kecil. Macet masih hadir di tengah-tengah kehiruk-pikukkan kota. Walaupun sekarang Salatiga sudah menjadi kota sedang sejak beberapa tahun terakhir, tak menutup kemungkinan jika penduduk di sini sebagian terlalu egois mementingkan diri sendiri.
Gadis itu masih memikirkan kejadian kemarin, menatap ke luar melalui kaca jendela yang jika sudah dipenuhi oleh buliran air hujan. Tidak tahu jika mobil yang ditumpanginya sudah terparkir di depan sekolah.
"Hati-hati, La. Pulang langsung pulang, sampai rumah jangan sampai sore jika tidak ada keperluan."
"Iya, Abi ...." Gadis itu melirih sembari turun dari mobil. Setelah mengucapkan salam dan meminta doa restu, ia membuka payung yang diberikan Aisyah pagi tadi. Berjalan di bawah rintikan hujan.
Entahlah, gadis itu tidak seperti remaja kebanyakan yang terbius oleh indahnya hujan. Ia mencincing roknya sedikit, sesekali berjingkat untuk menghindari genangan air yang berada di halaman sekolah.
Menurutnya, hujan tidak terlalu indah—bahkan biasa saja. Hanya saja, manusia yang terlalu melebih-lebihkan proporsional antara rintikan hujan dan kenangan. Mungkin, masa lalu adalah salah satu cerminan dari rinai hujan?
Ah, menurutnya, hujan adalah sesuatu yang tidak bisa diibaratkan. Walaupun kenangan memiliki ikatan dengan hujan, tidak selamanya jika hujan memberikan semua kenangan yang kita butuhkan.
Kenangan yang manis? Hanya itu yang dipikirkan remaja seusianya saat menatap tempiasan hujan yang menetes. Aroma, bentuk, dan suara seperti kembali mengingatkan mereka pada ingatan. Mungkin, mereka bisa menyebutnya nostalgia.
Aqila menundukkan wajah saat rintikan hujan berhasil mengenainya dengan cara terbawa oleh angin pagi.
Itulah yang tidak ia suka dari hujan. Membuatnya basah kuyup. Klise memang, atau bahkan orang lain akan menganggapnya gila. Namun, itulah pribadi manusia.
Ia mengibaskan rok abu-abu, lalu menyambung jalannya menuju kelas. Sudah tidak ada waktu untuk membahas atau sekadar memikirkan hujan dan kenangan yang tidak ada habisnya.
Hari ini tidak upacara. Mungkin karena hujan yang sedang mengguyur lapangan madrasah. Namun, beberapa siswa yang sudah berada di kelas, menyiapkan peralatan yang akan digunakan untuk beraktivitas hari ini.
"La," sapa seseorang dari belakang saat Aqila tengah berjalan melewati koridor madrasah. Ia menengok ke belakang, wajahnya berubah datar saat melihat orang yang memanggilnya.
Sedangkan bagi sang pemanggil, senyumnya memudar saat melihat perubahan ekspresi wajah yang ditimbulkan Aqila. Dalam hatinya bertanya, apakah ia melakukan hal yang salah?
Aqila menghela napas, tidak peduli dengan seseorang yang baru saja menyapa, kemudian bergegas masuk ke kelas. Ia menutup telinganya kuat-kuat saat namanya berulang kali dipanggil dari belakang.
"Aqila! Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?"
Aqila diam, masih berjalan menuju kelas. Panggilan itu terhenti saat ia benar-benar sudah tiba di kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aqila [END]
SpiritualAn amazing cover by. @kiikii- (Teen Fiction - Spiritual) Blurb: Fitrah manusia itu mencintai dan dicintai. Sekelumit kisah kadang hadir di tengah-tengah untuk mewarnai. Allah telah menetapkan skenario yang indah untuk setiap hamba-Nya. Salatiga, di...