Panggung-panggung telah berdiri megah. Dengan hiasan bunga mengitari sebagai padi-padi. Tampak orang-orang berlalu lalang sibuk dengan urusan masing-masing.
"Assalamualaikum, Kang." Seorang gadis berjilbab biru panjang hingga menutupi perut, dengan ciput hitam, motif bunga menyapa secara halus. Tangan gadis itu sedikit bergemetar, kepalanya menunduk.
"Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh," jawab Faris sembari masih menatap setiap pemandangan di sana: orang yang berlalu-lalang.
Pak Kiai, Bu Nyai, dan calon mertuanya tengah berbicara ringan di ruang tamu. Kadang kala mereka tertawa kecil, menikmati hidangan yang tersaji di meja besar bundar yang terbuat dari kaca.
Gurat kebahagiaan jelas terpancar dari wajah mereka. Kadang melempar senyum kepada santri yang tidak sengaja lewat. Sebentar lagi, anaknya akan menjadi seorang suami.
Memang, perjodohan sudah tidak zaman lagi. Tetapi, kekhawatiran Pak Kiai memaksa untuk melakukan ini. Toh, jika menikah di kalangan sesama pemuka agama bisa mempererat tali silaturahmi antarpondok.
Pak Kiai menghela napas pelan, menatap kedua orang yang berada di depan. Sebentar lagi, pernikahan itu benar-benar akan terjadi. Mereka sudah melepas anak-anak mereka untuk saling melakukan taaruf secara singkat; selama sehari.
"Kang?"
Pandangan Faris yang tadi tertuju ke arah mereka berempat sekarang telah pecah. Bersamaan dengan sapaan asing dari gadis yang berdiri tak jauh darinya.
Gadis itu malu-malu menatap Faris, mendongak perlahan. Kemudian, kembali menunduk.
Wajah putih bersih itu tenggelam, jemari lentiknya meremas kecil gamis biru laut yang dipakai.
Faris menatap sekilas, kemudian menjawab, "Maaf. Aku sedang tidak enak badan. Sekali lagi maafkan aku."
Faris bergegas pergi meninggalkan gadis itu, yang sebentar lagi akan menjadi istri sah Faris. Yang ditinggal menatap punggung Faris yang kian mengecil, terbenam oleh kerumunan santri yang ikut mendekorasi panggung dan tempat yang akan menjadi saksi peristiwa sakral yang terjadi dua hari lagi.
"Ris ...." Adib menatap heran Faris yang terburu-buru. Ia yang sedang kebagian jatah mengangkat kursi saat melihat langkah cepat Faris mendadak meletakkan barang itu kembali.
"Kamu pucat sekali, Ris," kata Adib cemas. Faris menggeleng, tersenyum. Meyakinkan kepada Adib jika ia akan baik-baik saja.
"Tidak, Kang. Cuma butuh istirahat. Semalam bergadang cari baju yang cocok untuk lusa. Paling nanti kalau sudah dibuat tidur ya sembuh sendiri." Faris setengah berbohong. Ia takut jika Adib terlalu mengkhawatirkannya.
"Benar, tidak apa-apa?" tanya Adib menyelidik. Faris mengangguk, tersenyum sembari memastikan.
"Baiklah. Ini masih jam 9 pagi. Tidur dulu saja, nanti akan kubangunkan. Aku tidak tega melihatmu kelelahan hingga terlihat jelas kantung matamu." Adib menyengir, Faris meringis memamerkan deretan gigi-gigi putih.
Adib berpamitan, kembali ke aktivitasnya semula. Begitu pun dengan Faris, yang kembali berjalan cepat ke arah kamar. Ada sesuatu yang ingin ia katakan kepada seseorang. Agar hati itu tidak lagi merasa terbebani.
Setelah melewati beberapa meter, akhirnya ia sampai di daun pintu. Membuka, masuk mendahulukan kaki kanan, kemudian merebahkan ke ranjang.
Pandangannya menatap lamat-lamat ke langit-langit ruangan. Perasaannya tengah campur aduk: sedih, kecewa. Dua rasa yang mendominasi jiwanya saat ini. Ia tengah berkecamuk dengan diri sendiri, meratapi nasib.
Di tengah kesibukan Faris, tanpa sadar telah mengecewakan hati seorang gadis. Gadis yang beberapa lalu ditinggalkan oleh seorang gus.
Ia tergugu, menatap ke depan. Semakin jauh saat punggung lelaki itu semakin mengecil, dan perlahan hilang. Seperti tenggelam di lautan manusia.
Seorang lelaki boleh melihat calon istrinya. Tetapi ... apa Faris melihatnya? Menatap saja enggan. Padahal, orang tuanya telah mengizinkan Faris melihat wajah sang calon istri.
Berbeda lagi dengan Faris. Ia tahu, jika ini memang harus menatap wajah gadis itu. Tetapi, untuk apa melihat jika ia saja tak diberi kuasa untuk menolak?
Bukankah di ilmu Fiqih, sang laki-laki boleh menatap wajah calon istri, kemudian berhak memutuskan menyanggupi kelanjutan cerita cinta dengan menikah atau tidak.
Sadar akan tujuan awal, ia segera bangkit dari ranjang. Berjalan dengan hati sendu ke arah meja belajar. Mata hitam legamnya menatap ke arah buku usang yang sejak kemarin berada di situ.
Ia mengerutkan dahi. Entah perasaannya atau bukan, buku itu berubah, walaupun seinci. Mengingat ia selalu menatap buku usang itu. Tidak bisa dibohongi. Benar-benar tidak bisa dibohongi. Hatinya berkecamuk rasa khawatir, takut jika yang ditakutkan sudah terjadi.
Dengan mempercepat langkah, ia menghampiri meja belajar. Kali ini pandangannya tajam, terburu-buru seperti memastikan keberadaan sesuatu; sesuatu yang menjadi alasannya untuk ke kamar.
Foto.
Pupil pemuda itu membesar, kemudian menelan susah salivanya.
Ya! Foto itu benar-benar hilang!
Foto penting yang ada di lipatan buku tidak ada. Berulang kali ia membuka lipatan buku dengan teliti. Sesuatu yang beberapa tahun ini ia jaga telah hilang.
Sesuatu yang buruk akan terjadi, pikir Faris dalam hati.
Sementara itu, gadis berjilbab biru itu masih mematung. Selama lima menit ia berdiri di sana.
"Aina," panggil seorang wanita paruh baya kepadanya. Lamunan gadis itu terpecah, kemudian mengalihkan pandangan kosong itu ke sumber suara.
"Umi ...." Gadis yang dipanggil Aina itu melirih, kemudian menunduk. Ia tahu, wanita yang dipanggil umi sebentar lagi akan memarahinya karena tadi melamun.
"Tidak baik melamun," kata wanita itu sembari mengusap jilbab biru Aina. Aina mengangguk, tersenyum.
"Tidak akan Aina ulangi lagi, Umi. Insya Allah." Sudut bibir gadis itu semakin melebar, membentuk senyum manis khas orang Jawa.
Tanpa sadar, seorang gadis lain tengah menatapnya dengan mata berkaca. Di tempat yang sama, pun dengan cara yang sama.
Dadanya sesak, menatap kejadian yang baru saja mampu mengiris hati.
Baru saja akan turun, suara bariton kembali mengisi gendang telinganya.
"Aqila, kamu kenapa di sini lagi?" tanya seseorang itu. Kali ini Aqila sudah berjaga-jaga agar tidak kaget seperti sebelumnya dengan memperluas permukaan kursi: menjajarkan kursi agar permukaan menjadi lebih luas. Dengan demikian, kemungkinan ia akan jatuh sangat kecil.
Dengan masih membelakangi sang sumber suara, Aqila menggeleng. Kemudian menyeka air mata dengan kedua tangan. Percuma saja. Mengharapkan Faris tidak jadi menikah hanya angan belaka.
Keinginan sebesar batu, tapi kemunvkinan yang terjadi hanya sebutir debu. Perumpamaan yang pas untuknya saat ini.
Bahkan, kemungkinan itu nyaris tak akan terjadi. Ia tersenyum kecut, kemudian turun dari kursi.
Tampak seorang pemuda tengah menungguinya di sana dengan perasaan was-was. Khawatir jika nanti jika gadis di depannya kembali terjatuh. Sedetik kemudian, dugaannya salah. Gadis itu turun dari kursi dengan mulus.
"Ternyata kamu sudah terbiasa, ya," katanya sembari tersenyum. Aqila menatap datar, kemudian kembali berjalan.
"Sebenarnya, yang kamu tatap? Setiap hari aku selalu melihatmu berada di sini."
"Hanya suatu urusan kecil."
Azhar mengangguk, ber-oh ria dengan sangat lirih, kemudian berbelok mengikuti jalan, Aqila mengekor di belakang.
"Ini hari apa, ya?" tanya Azhar sembari menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Ia tipe pemuda yang berangkat sekolah, pulang sekolah; tidak peduli dengan keadaan sekitar-orang bilang ia tidak peka.
"Jumat ...," kata Aqila lirih. Ucapan itu seperti berhenti di kerongkongan. Dua hari lagi, peristiwa sakral itu akan terjadi. Peristiwa yang akan menyayat hati.
Ya Allah ... tabahkanlah hatiku, katanya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aqila [END]
SpiritualAn amazing cover by. @kiikii- (Teen Fiction - Spiritual) Blurb: Fitrah manusia itu mencintai dan dicintai. Sekelumit kisah kadang hadir di tengah-tengah untuk mewarnai. Allah telah menetapkan skenario yang indah untuk setiap hamba-Nya. Salatiga, di...