17. Alasan Sebuah Kesalahan

3.2K 233 3
                                    

"Kang, Akang suka yang mana?" tanya Aina sembari membandingkan dua gaun bermotif bunga. Di bagian kanannya berwarna putih, dan di kiri berwarna biru.

"Kang ...." Aina menatap Faris takut-takut saat pemuda itu tak kunjung menjawab pertanyaannya. Faris masih melamun, jiwanya di sini, tetapi angannya masih berkeliaran. Entahlah, kejadian kemarin belum bisa pergi dari pikiran.

"Kang!" Aina meninggikan suara, memecahkan lamunan Faris. Pemuda itu buru-buru menatap Aina yang mukanya memerah akibat terlalu percaya diri membentak Faris—tak dipermasalahkan oleh Faris.

"Maafkan aku," kata Faris menunduk, membuat gadis di depannya heran. Gadis yang sebentar lagi akan menikah dengannya. Gadis yang sebentar lagi akan jadi istri sahnya.

"Aku menyukai keduanya. Pakailah sesukamu." Faris menjawab berat, seberat hatinya kini. Separuh jiwa pemuda itu belum bisa merelakan pernikahan atas dasar perjodohan ini. Pernikahan yang terkesan ... paksaan.

Wajah gadis itu berubah mendung, lalu berjalan meninggalkan Faris sendiri.

Faris berjalan ke luar butik, menatap parade bintang yang berkerlap-kerlip. Udara terasa lebih dingin dari malam-malam sebelumnya.  Setidaknya dengan merasakan sensasi angin malam mampu sedikit membuyarkan penat yang ada di otaknya.

Tiba-tiba kiai keluar dari butik menghampiri Faris. Beliau menghela napas. "Besok adalah hari pernikahanmu, Ris ...." Kiai melirih, ikut menatap kerlipan bintang yang menggantung di angkasa.

Faris menelan susah saliva. Ia harus rela masa mudanya direnggut oleh perjodohan ini.

Yang jadi pertanyaannya saat ini, siapkah ia menjadi seorang suami?

"Nanti, kalau sudah punya istri, jangan lupakan kami," katanya pelan, penuh wibawa seperti biasa. Faris masih diam, menunggu abahnya selesai berbicara.

"Aina itu orang yang baik, Le .... Abah kenal betul sama bapaknya. Rajin, salehah, lemah lembut, idaman lagi. Beruntungnya kamu, punya istri seperti Aina."

Buat apa kecantikan, kesalehan, dan kelemahlembutan jika itu semua tidak ada rasa cinta? Bukankah itu terasa hambar?

Dada pemuda itu bergemuruh, ingin mengatakan yang sebenarnya kepada abi. Siapa tahu pernikahan ini bisa dibatalkan? Angan yang berlebihan, tetapi tidak ada salahnya dicoba, kan?

Semenit lengang. Kiai masih menatap keindahan malam dengan bibir terkatup, sedangkan Faris susah-susah menyusun kalimat. Keringat mengucur deras di pelipis. Dinginnya malam tak mampu mengalahkan ketegangan suasana.

Aku harus mengatakan bagaimana? Mulai dari mana? katanya dalam hati. Gundah gulana menerpa hati, cemas menguasai diri, keringat kembali membanjiri tubuh.

"Bah ...." Faris berkata lirih, berharap abahnya itu tidak mendengar perkataannya. Lucu memang, ingin berkata tetapi tak ingin didengar, takut-takut jika pernyataan ini mampu melukai hati sang abah.

Kiai menoleh, menatap anaknya yang sebentar lagi akan menikah. Memang, kehilangannya tidak seperti melepaskan anak perempuan, tetapi jika seperti ini ... keadaannya menjadi berbeda. Lagi pula, siapa orang tua yang tidak akan sedih melihat anaknya yang kian dewasa dan akan meninggalkan mereka?

Faris menatap wajah kiai dalam-dalam. Beberapa kali mencoba mengatakan tetapi seperti tertahan. Apakah ini akan menyakiti beliau? Begitulah kira-kira pertanyaan yang bertebaran di otak pemuda itu.

"Ada apa?" Kali ini kiai kembali menatap langit di malam hari. Sesekali menghirup angin malam yang sebenarnya tidak baik, tetapi hanya dengan itu yang mampu membuatnya sedikit rileks.

"Faris ingin mengatakan sesuatu."

"Cukup pentingkah? Kasian Aina yang memilih baju sendirian di dalam. Kamu bisa mene—"

Aqila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang