15. La Tahzan, Aqila! Innallaha ma Anti

3.6K 230 0
                                    

Aqila mengempaskan tubuh ke ranjang. Hari ini jadwal padat, tubuhnya seakan remuk hingga ke tulang. Ia menghela napas pelan, hari yang panjang telah dilewati. Berlari saat pelajaran olah raga, menghitung persamaan kuadrat di pelajaran matematika, hingga ikut menghafal lafal ijab qabul di pelajaran Fiqih.

Tetapi, hari panjang sebenarnya belum berpapasan dengannya. Hari panjang itu tengah berjalan perlahan ke arah gadis remaja yang sudah berumur tujuh belas tahun itu.

Dadanya sesak, berkali-kali ia menghela napas. Setidaknya dengan membuang napas dapat membuat pikiran sedikit rileks. Pernah ia berpikir, mungkin masalah itu akan pergi bersamaan dengan udara yang dibuang.

Sayang, berapa kali pun, sekuat apa pun ia mencoba untuk melupakan, rasa itu kembali hadir. Masalah kembali menghinggapi kepala. Cinta yang selama ini ia jaga dalam beberapa tahun harus berakhir seperti ini.

Tak terasa, pupil matanya basah akibat terkena butiran air yang bermuara dari mata.

Harapannya telah sirna. Ibarat menjadi nahkoda kapal, ia benar-benar telah melabuhkan ke dermaga yang salah. Ia telah melabuhkan jiwa pada hati yang salah, hati yang telah memiliki seorang pendamping hidup.

Butiran-butiran itu jatuh begitu saja. Bantal kesayangannya yang berwarna biru laut telah basah akibat terkena tempiasan dari air mata.

Jika seperti ini, ia seperti menyalahkan diri sendiri. Mengapa ia harus jatuh cinta kepada seseorang yang jelas-jelas tak mampu ia gapai? Seseorang yang jelas-jelas beda derajat dengan dirinya.

Faris adalah lelaki yang nyaris sempurna. Memiliki setiap karakter kebaikan seseorang. Pandai menjaga hati, dan jangan lupakan satu hal. Senyumnya memesona.

Sungguh, sepertinya ia telah lancang karena berharap cinta dalam diamnya ini akan berujung seperti Ali dan Fatimah, dua pasangan yang digadang-gadangkan umat muslim oleh karena cinta suci mereka.

Bisakah pernikahan itu batal saja? Begitulah teriaknya dalam hati.

Sayatan demi sayatan telah tercipta dalam hati. Debaran jantungnya kian meningkat, menandakan kecemasan dan kekecewaan yang teramat dalam.

Besok.

Besok adalah hari itu. Hari di mana ia akan kembali meregang hati. Hari di mana ia kembali merasakan patah hati kedua kali.

Kali pertama, ketika pertama kali ia merasakan kehilangan kedua orang tua. Peristiwa itu masih terbayang jelas di pelupuk gadis yang masih merebahkan badan itu.

Nyatanya, tak selamanya cinta dalam diam itu berakhir indah. Tak selamanya jatuh cinta itu juga berakhir bahagia.

Andai saja ....
Andai saja ia dapat memutar waktu, pasti akan ia lakukan.

Memutar waktu untuk menyatakan perasaannya kepada Faris.

Ya! Ia akan menyatakan perasaannya kepada Faris.

Mengapa? Bukankah seorang gadis boleh menyatakan perasaannya terlebih dahulu? Seperti Bunda Khajidah kepada Nabi Agung Muhammad SAW.?

Beberapa menit ia tergugu dan dengan mata berkaca menatap ke langit-langit ruangan, akhirnya ia mengambil ponsel yang berada tak jauh darinya.

Mengetikkan sesuatu pada benda berlayar persegi panjang itu dengan serius. Helaan napas kembali terdengar saat ia kembali menghapus pesan. Hapus pesan, mengetik lagi. Dan begitulah seterusnya.

Hati itu sedang gelisah. Setelah sekian banyak ia menghapus pesan, akhirnya ia bersikukuh. Jemari lentiknya kembali menari di keyboard ponsel, mengetikkan beberapa kata.

Kepada: Faris

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, Ris. Ini aku Aqila. Besok aku akan mengatakan hal penting kepadamu. Aku akan menunggumu di taman kota, jam empat sore. Kuharap besok aku bisa melihat wajahmu. Wassalamualaikum warohmatullah wabarokatuh.

Aqila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang