"Mengapa kamu menangis?" tanya Faris sembari menyelidik Aqila. Aqila tersenyum, dada gadis itu berdesir hebat tatkala kembali dapat menikmati keindahan mata Faris.
"Aku sudah ada di balik pohon ini sejak setengah jam yang lalu. Kamu ya kamu. Tetap ceroboh! Bagaimana nanti bisa sukses kalau kamu saja tidak punya disiplin." Faris berkata seperti biasa. Intonasi biasa, dan ekspresi biasa.
Kebiasaan yang membuat Aqila dirudung rindu akhir-akhir ini.
"Maaf ...." Hanya satu kata yang meluncur dari bibir mungilnya. Ia tersenyum, menyeka air mata dengan kedua tangan.
"Aku kira kamu tidak akan datang." Kali ini senyum Aqila kian mengembang. Debaran hatinya kian meningkat, berbunga-bunga layaknya sekuntum tulip merah yang akan mekar.
Ia salah. Berprasangka buruk kepada lelaki di depannya.
Maafkan aku, Ris ....
"Kamu saja yang tidak melihat ke sekitar. Datang tidak langsung mencari malah menangis, berpikiran jika aku tidak akan datang. Mau jadi lelaki apa aku kalau tidak menepati janji."
Aqila tertawa, menatap Faris yang mengomel tidak jelas sembari berjalan menuju gazebo taman. Aqila mengekor.
Angin sore berembus dari barat, meniup ujung-ujung pohon hingga membuat mereka tampak menari-nari. Entah kenapa, dada Aqila kembali berdesir. Kapan terakhir kali ia bersama Faris menikmati dinginnya sore hari? Kemarin? Minggu lalu? Ah, ia sudah lupa.
Mereka duduk di satu gazebo, lalu menciptakan jarak sedemikian rupa hingga tidak terlalu dekat. Aqila tahu, Faris memanglah pemuda yang tidak suka didekati oleh perempuan. Beruntung, parasnya yang rupawan mampu membuat Aqila berpikir dua kali untuk membangkitkan keinginannya memusnahkan makhluk menyebalkan seperti Faris dari atas bumi.
"Bagaimana sekolahmu?" tanya Faris setelah beberapa saat hening. Jam-jam seperti ini cukup sepi. Orang-orang yang bekerja, pulang sekolah, ataupun bermain tidak akan bertahan sampai jam lima. Daripada itu, mereka lebih suka menghabiskan waktu sore dengan keluarga di rumah. Apalagi Salatiga merupakan salah satu kota dingin. Dingin yang sejuk, begitulah kata pelancong jika mereka bermalam di sana. Terlebih di Randuacir. Itulah salah satu alasan mereka untuk tidak keluar rumah.
Buat apa keluar rumah jika dingin? Hanya orang-orang yang memiliki keperluan saja yang akan keluar. Apalagi cuaca sekarang hujan. Alasan tambahan bagi mereka.
"Baik-baik saja. Aku juga punya teman baru." Aqila menatap ke bawah, jemari kakinya tengah tertutup oleh sepatu. Satu teman, itu sudah cukup. Pandangan gadis itu berubah sendu.
Faris menatap Aqila yang menundukkan kepala. "Laki-laki atau perempuan?" Faris menatap Aqila dengan tatapan selidik. Aqila terkekeh pelan, kemudian menatap Faris.
"Cie, kepo."
Seketika wajah Faris mendadak datar. Aqila tertawa terpingkal-pingkal menatap wajah datar Faris—yang menurutnya seperti marmut.
Sedangkan Faris, menatap Aqila seperti biasa. Gadis menyebalkan yang selalu mengganggu ketentraman hidupnya.
Anehnya, sesuatu yang menyebalkan itu membuat sepercik rindu. Berhari-hari hanya dia yang ada di mimpi. Benarkah Aqila adalah sang pujaan hati?
Ah, kadang cinta memang sangat lucu. Benci menjadi cinta. Kadang juga cinta menjadi benci.
"Jadi, ada apa kamu menyuruhku untuk datang ke sini?" tanya Faris to the point. Sepertinya terlalu lama ia dengan Aqila di sini. Menghabiskan waktu sore berdua bukanlah hal yang tepat. Ada sesuatu yang tidak disukai sedang berada di pundaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aqila [END]
SpiritualitéAn amazing cover by. @kiikii- (Teen Fiction - Spiritual) Blurb: Fitrah manusia itu mencintai dan dicintai. Sekelumit kisah kadang hadir di tengah-tengah untuk mewarnai. Allah telah menetapkan skenario yang indah untuk setiap hamba-Nya. Salatiga, di...