“Ini tehnya, mbak manis.” Mahmud menyodorkan satu gelas teh hangat ke hadapan Swara. Gadis itu tersenyum dengan ramah.“Terima kasih.” Gumamnya pelan. Swara menyeruput teh itu dengan pelan. Mahmud masih menatap lekat-lekat wajahnya Swara. Ya memang cantik. Sanskar ini pandai, kan? Mencari gadis yang mungil-mungil dan cantik seperti Swara ini?
“Mud? Ngapain lo?” Sanskar bertanya dengan santai. Mahmud hanya nyengir dan menjauh dari tubuh Swara.
“Hehe cakep ya, Sans? Mungil lagi. Kamu mah ga pantes sama dia,” ujar Mahmud. Swara hanya menggelengkan kepalanya ketika mendengar ucapannya yang tidak masuk akal itu.
“Terus, pantesnya sama siapa?” Tanya Sanskar. Seakan-akan semangat ingin menanyai Mahmud si pria berkulit agak hitam itu dengan beberapa pertanyaan.
“Sama aku lah, yakan, mba?” Mahmud sekilas menatap wajah Swara yang masih agak pucat itu. Sepertinya dia demam karena kehujanan tadi, apakah dia tegang? Oh ya ampun jika tegang apakah ini yang dinamakan ‘Cinta?’ Mahmud membatin.
“Ga tau ya mas.”
“Hacim!” Swara bersin dengan kuat dihadapan Mahmud dan Sanskar.
“Pergi lo!” Usir Sanskar kepada Mahmud yang sedang menatapnya datar. Pria itu menaikan sebelah alisnya.
“Ngusir ya? Aku kan pengen beri obat mba mungil ini. Sanskar aja yang pergi sono ganti bajunya kan itu basah kuyup banget.” Ujar Mahmud. Sanskar melototkan kedua matanya.
“Ga peduli! Sana Mud!” Sanskar mendorong Mahmud ke belakang toko. Pria itu seketika ikut menghilang ditelannya kegelapan di toko sana.
Swara memeluk dirinya sendiri saat itu. Tubuhnya masih sangat dingin. Bahkan, kepalanya terasa pusing akibat terkena air hujan tadi. Kemana Sanskar pergi? Swara mulai mencari-cari keberadaan pria menyebalkan itu. Dia baru sadar jika sofa yang sedang dia duduki ternyata basah karena pakaiannya. Swara beranjak bangun dan memilih mematung menatap hujan yang masih belum mereda.
Plak plak
Suara sepatu Sanskar terdengar. Swara segera mengalihkan tatapannya kepada sepatu Sanskar itu.
“Sepatunya berisik banget, deh!” Ucap Swara. Sanskar tidak menjawab melainkan mendudukan Swara secara paksa di sofa.
“Kenapa berdiri, sih! Duduk aja!” Swara memberontak ketika Sanskar menggosok-gosok rambutnya dengan handuk bergambar ‘Mobil Tayo’ tapi dia juga ingin tertawa saat melihat handuk tersebut.
“Mas ko udah pulang, sih? Kumpulannya udah ya? Gimana? Yuda tinggi juga udah pulang, kan?” Tanya Swara.
“Buset bacot sih lo. Kebanyakan nanya jadinya gue bingung!” Jawab Sanskar dengan ketus. Pria itu menurunkan handuk Mobil Tayo-nya dari kepala Swara dan menyodorkan satu buah obat serta satu gelas air ditangannya.
“Obat? Aku ga suka obat,” gumam Swara menolak obat kecil itu.
“Lo flu, Swara. Gue untung nemu lo di emper toko gue kalo ngga ya pasti lo bakalan sakit. Bodo amat ga suka obat juga, nih telen!” Desak Sanskar. Swara menutup mulutnya rapat-rapat dan menggeleng.
“Dih ga nurut lo ya? Ini manis, Swara. Rasa jeruk, lo pasti suka banget. Kalo ga mau kerasa pahitnya ditelen ya?” Bujuk Sanskar. Swara mulai membuka mulutnya. Apakah yang dimaksud Sanskar benar? Jika obat itu bisa dia telan dan tidak menyangkut di tenggorokannya? Swara perlahan menerima obat itu.
“Yakin ga bakal nunda di tenggorokan, mas?” Tanya Swara pelan. Sanskar menggeleng.
Berhasil!
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine!
Teen Fiction#Pengumuman Maaf, ini bukan cerita tentang kesedihan, tentang perjodohan, tentang kekerasan, yang bertema belakang india. Tapi ini cerita tentang remaja, lebih termasuk ke istilah masa putih abu-abu. Bertema belakang indonesia lebih tepatnya jakarta...