Happy reading;*
Hari demi hari hubungan Sanskar dan Swara semakin lengket bak perangko. Keduanya saling merasakan nyaman dengan hubungan yang belum jelas tersebut. Mereka tidak jadian, dan tidak juga pacaran. Hanya saja sebuah hubungan yang belum pasti membuat keduanya saling merasa nyaman.
Swara terkadang tidak ingin selalu digantung seperti ini, tidak dianggap apa-apa oleh Sanskar. Masih sekedar teman dekat tapi mesra saja. Namun, Swara selalu bersabar, akan ada saatnya dimana hubungan yang dia impi-impikan tercapai. Disisi lain Sanskar tidak merasa bersalah atas kedekatan mereka yang belum pasti apa hubungannya. Pria itu tidak pernah menjanjikan bahwa dirinya akan menyatakan cintanya kepada Swara dimanapun, kapanpun, kepada siapapun termasuk kepada Swara. Dia pikir, Swara akan merasa peka dengan perilaku nya selama ini.
“Ada apa?” Suara Sanskar lembut mampu membuat Swara tidak bisa berkata-kata. Bibirnya serasa kelu, dan hatinya berdegup kencang tidak beraturan.
Perlahan Swara duduk disebelah Sanskar.
“Mau ngajak jalan?” Tanya Sanskar menggoda. “Kangen ya ditinggal mas cakep ini terus,” lanjut Sanskar terkekeh. Memang, selama seminggu kebelakang, dirinya tidak lagi berkomunikasi dengan Swara. Dia hanya sedang fokus dengan Les kedokterannya serta tidak mau membuat Rianti kecewa untuk yang kedua kalinya sebab pernah Mamanya itu mengetahui bahwa Sanskar tidak pernah lagi masuk Les selama tiga hari. Bukan tidak memberi kabar, bahkan Sanskar sering sekali mengirimkan sebuah amplop ke rumah Swara yang isinya adalah kata-kata baper. Dia paham, hanya dengan itu semua Swara pasti akan mengerti dan mudah terbawa perasaan. Mereka semakin dekat bukan dari berjalan-jalan, atau makan bersama? Tidak. Mereka semakin dekat melalui sebuah amplop yang selalu dikirim dan mengirim.
“Pede!” Swara memukul bahu Sanskar pelan.
“Harus lah. Ayo mau ngomong apaan, gue mau ke kelas nih, udah bosen dikantin terus,” gerutu Sanskar menggaruk tenguknya yang tidak gatal.
“Temen-temennya pada kemana? Ngedadak gak punya temen.” Ledek Swara mulai memesan makanan kepada bu Suja. Tidak lama kemudian, makanan sudah siap dihidangkan. Hanya sebuah siomay dengan jus lemon kesukaannya.
“Lo juga pada kemana, sendirian aja tuh,” Sanskar balik bertanya.
“Nyeselin!” Swara cemberut, lebih memilih melahap siomay-nya dengan lahap. Memang, ketiga temannya kini masih sedang ada di kelas. Mereka membawa bekel masing-masing entah sejak kapan tradisi itu mereka terapkan di sekolah.
Sanskar hanya bergumam sambil terus menatap wajah Swara yang sedang kesal.
“Ngangenin?” Tanya Sanskar memastikan.
“Gak peka,”
“Peka dong. Gue juga kangen lo,”
“Kapan ada waktu buat aku?”
“Selalu ada kok.”
“Bohong! Buktinya sekarang kita gak selalu jalan tuh,”
Sanskar hanya tertawa pelan. Perlahan dia menggenggam tangan kanan Swara. Mendadak gadis itu berhenti makan, dia tidak mampu menatap wajah Sanskar karena degupan jantungnya sedang tidak beraturan. Baru kali ini, dia diperlakukan seolah-olah istimewa untuk Sanskar.
“Mau jalan kapan?” Tanya Sanskar memecah keheningan. Dia serasa ingin tertawa kencang ketika merasakan bahwa tangan Swara saat itu sedang menjadi dingin.
Swara yang tadinya ingin berterus terang, akhirnya mendadak gagap.
“Mau kemana, hm?”
“Ng-nggak.” Jawab Swara gemetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine!
Teen Fiction#Pengumuman Maaf, ini bukan cerita tentang kesedihan, tentang perjodohan, tentang kekerasan, yang bertema belakang india. Tapi ini cerita tentang remaja, lebih termasuk ke istilah masa putih abu-abu. Bertema belakang indonesia lebih tepatnya jakarta...