"LO kenapa bisa tau?" Tanya Sanskar memandang anak tersebut dengan takjub. Tapi perkataannya itu sedikit membuat hati Sanskar terguncang. Jadinya ia mengingat Swara, Sanskar sangat takut bila sewaktu-waktu akan berubah seiring berjalannya waktu, bahkan saat Sanskar kembali pun jangan sampai Swara tidak mau bertemu dengannya.
"Gue peramal." Jawab anak bertato itu.
"Semacam Dilan?"
"Cuman Didin, bukan Dilan."
"Oh, Sanskar."
Mereka berkenalan, saling menjabat tangan.
"Enaknya pake lo-gue atau aku-kamu?" Tanya Didin.
"Terserah,"
"Kayanya aku-kamu aja deh, soalnya kamu kan sebelum datang ke Jogja ngomong kaya begitu."
Sanskar kena ramal lagi, memang benar dirinya melakukan hal itu saat akan berpisah dengan Swara. Rasanya terlalu menjijikan harus berubah berbicara seperti itu, semakin merasa akrab jika berbicara formal seperti yang Sanskar ucapkan. Memberikan kesan yang sangat susah ditebak. Didin tersenyum menampakkan giginya yang diberi pagar.
"Kamu gak perlu khawatir, bro. Sayang gak sama dia?" Tunjuk Didin pada foto yang sedang ia genggam.
"Sayang."
"Mau nungguin apa, kenapa gak langsung ungkapin terus jadiin dia milik kamu?"
"Nunggu—" Sanskar menggantung ucapannya, "nungguin aku sukses." Lanjut Sanskar dengan suara yang kaku.
Didin tertawa kecil, ia pikir Sanskar ini adalah cowok yang bodoh dalam hal cinta seperti ini. Ia mengambil rokok dari dalam saku celananya, dan diam-diam menyalakannya dengan korek api. Awalnya ini adalah suatu hal yang baru bagi Sanskar, seorang mahasiswa bisa merokok terang terangan seperti ini.
"Kamu bodoh." Ungkap Didin, "emangnya sukses harus menahan sebuah rasa?" Lanjut nya sambil menghisap rokok.
"Aku cuman gak mau nyakitin dia. Pasti disuatu saat nanti, aku akan menghilang begitu saja dari sini, ingin mencari jalan kesuksesanku." Jawab Sanskar.
"Sa-sanskar?"
"Iya."
"Dengan caramu seperti ini, kamu malah lebih nyakitin perasaan cewek kamu, Kar."
Seperti seorang teman yang sudah akrab, keduanya sama sekali tidak gugup saat berbicara. Malah terlihat seperti orang yang sudah sangat akrab. Sanskar hanya bisa terdiam, mengalah bila harus beradu bicara dengan peramal Didin ini. Ada suatu rasa menyesal didalam lubuk hati Sanskar yang paling dalam, tapi cowok itu sangat bingung, apakah Swara masih mau menerimanya atau kah tidak. Ia menganggap kejadian perpisahan itu adalah saksi mereka, bahwa hubungan yang mereka bangun tanpa kepastian itu akan rubuh, dan tidak akan dibangun lagi.
"Din, kamu gak tau gimana jadi aku." Sanskar mengeluh, menatap sayu bola matanya Didin.
"Tau, lah penuh beban dan kebingungan." Jawab Didin.
"Mau rokok?" Tawarnya sambil menawarkan sebatang rokok ke arah Sanskar, cowok itu hanya bisa memekik kaget, baru kali ini ada seseorang yang menawarkannya benda haram ini. Sanskar menggeleng, "kamu suci, aku yang penuh dosa." Didin kembali memasukan sebatang rokok itu ke dalam saku celananya.
"Alay." Cibir Sanskar tertawa kecil.
"Gak pernah ngerokok ya, Kar?"
"Nggak pernah. Nyari penyakit aja Din, aku ini sehat, mana ada orang sehat mau jadi sakit."
"Tapi aku memang bertujuan ingin sakit, Kar."
"Loh kenapa?"
"Masalahnya banyak, aku gak sanggup buat ngehadapinnya. Tenang saja, aku gak bakal mati, kawan. Baru hari ini bertemu masa mau berpisah?" Goda Didin, tertawa nya itu menimbulkan teka teki yang amat besar untuk Sanskar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine!
Teen Fiction#Pengumuman Maaf, ini bukan cerita tentang kesedihan, tentang perjodohan, tentang kekerasan, yang bertema belakang india. Tapi ini cerita tentang remaja, lebih termasuk ke istilah masa putih abu-abu. Bertema belakang indonesia lebih tepatnya jakarta...