19. Perpisahan

162 18 2
                                    

Perlahan tubuh Swara merosot, ketika mendapat kabar bahwa Sanskar akan pindah sekolah. Ayolah, yang mana hati tidak sakit mendengar semua itu? Kenapa harus pindah? Gadis itu membenamkan kepalanya dibalik bantal, ingin sekali berteriak namun sepertinya suaranya sedang tidak mendukung. Bagaikan gumpalan bakso yang menyumbat di tenggorokan, sangat sakit, untuk menangis saja seperti harus meminta, namun air mata tidak mau keluar.

Memang bodoh, mencintai kepada seseorang yang belum tentu mencintai kita. Swara mendadak rapuh seperti ini, selama dua minggu kebelakang hari-harinya dipenuhi canda tawa bersama Sanskar. Saling menggenggam seolah-olah tidak akan dilepaskan.

"Ra," panggil Rafa muncul dibalik pintu, "temen kamu laki-laki ada dibawah." Ucapnya kemudian kembali menutup pintu, hanya ingin sekedar menyampaikan saja.

Laki-laki?

Swara langsung bangun, berlari membuka pintu kamarnya dengan keras sampai membuat suara menggema diseluruh ruangan. Tidak peduli dengan rambutnya yang berantakan bagaikan sarang tawon, yang penting ia ingin bertemu Sanskar.

Dibawah, terlihat Rafa sedang duduk berhadapan dengan Sanskar sedangkan disamping sofa, terdapat koper besar berwarna hijau, jangan bilang....

Bruk!

Swara terjatuh ke lantai, kedua lututnya memerah. Membuat kedua orang pria itu berdiri sangat kaget melihat kejadian itu, sedangkan gadis itu hanya meringis tapi tatapannya masih menatap Sanskar yang perlahan-lahan mendekatinya, "sakit, pa." Rintihnya, Rafa hanya bisa geleng-geleng kepala sambil membantu anaknya itu untuk berdiri.

"Kamu kenapa bisa jatuh kaya begini?"

Kedua lututnya memerah, tapi itu tidak berpengaruh untuk Swara, yang ia inginkan hanya satu, Jangan pergi Sanskar, aku masih butuh kamu disini. Bahkan aku belum menceritakan kepadamu kenapa aku bisa dirumah Papa, tapi kenapa kamu bisa tahu aku disini? Batin Swara masih menatap Sanskar dengan mata yang berkaca-kaca.

"Maaf," lirih gadis itu menundukan kepalanya, "papa boleh tinggalin kami berdua?" Pintanya sambil memasang wajah memelas.

Rafa tidak ambil pusing, ia mengerti diantara kedua orang ini ada sesuatu hubungan yang spesial. Pria paruh baya itu mengangguk, kemudian menuruti perkataan anaknya untuk meninggalkan mereka hanya berdua diruang tamu. Tenang saja, Rafa tidak akan tinggal diam dan mempercayai bahwa cowok SMA itu akan baik-baik saja saat bertemu dengan anaknya. Jika macam-macam, wajahnya tidak akan tampan lagi.

Sanskar tersenyum kaku, disisi lainnya ia ingin sekali memeluk gadis itu dengan erat, membiarkannya memarahinya sampai tenggorokannya kering. Tapi tidak mungkin, ini rumah Papanya, jika Sanskar ingin selamat jangan melakukan hal seperti itu.

"Kamu nangis?" Tanya Sanskar mencoba memulai percakapan, walaupun lidahnya serasa kelu untuk bertanya seperti itu, kenapa harus bertanya? Sudah jelas wajahnya Swara sembab, kedua kantung matanya membesar, "jangan nangis, cuman Jogja tidak sampai jauh." Sanskar kembali memperjelas tentang perihal pindahan sekolahnya ke Jogja.

"Sampai ucapanmu juga melembut? Kenapa harus pindah, kamu udah bosen ya sama aku?" Swara bertanya sambil memelankan nada suaranya, "sekolah kita emang gak bagus buat calon dokter sepertimu?!" lanjut Swara masih menahan amarahnya supaya tidak meledak begitu saja didepan Sanskar.

Sanskar terdiam, ia tidak tahu mesti menjawab apa, yang jelas, Swara sedang marah kepada dirinya, tidak bida diganggu gugat oleh siapapun. Kemudian beberapa detik setelah itu, Sanskar tersenyum kecil, "boleh aku ajak kamu keluar sebentar? Kita bicara baik-baik. Aku tunggu diluar,"

Mine! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang