Seorang gadis berambut ekor kuda yang masih memakai seragam lengkap berlari begitu keluar dari ruangan kepala sekolah. Ia berlari begitu menerima surat dari kepala sekolah, ia pun mulai menangis begitu menutup amplop surat itu kembali. Malu ia rasakan ketika berlari dan menangis sendiri. Semua orang memandang ke arah gadis itu dengan heran, apa sebab semua ini. Tak sedikit juga ia menabrak orang di jalanan. Kakinya tiada henti melangkah cepat mengalahkan seseorang yang mengayuh sepeda, mata yang sembab, serta isakan tangis yang masih terdengar.
"Kenapa semuanya tidak berpihak kepadaku? Kenapa semua yang aku raih dengan susah payah sudah berakhir begitu saja bahkan ketika aku belum memulainya?" suara hati gadis itu seperti terdengar oleh langit biru beserta awan putih.
Sudut dinding menjadi tempat ia menyandarkan tubuhnya yang melipat 90° hingga dahi bertemu dengan kedua lututnya.
Tangisannya semakin pecah begitu tubuhnya menempel di dinding yang sembab, seakan menjadi teman matanya yang sembab pula.
Sepucuk surat yang sempat ia buka itu masih ia genggam erat hingga surat itu kusut karena cengkeramannya.
Bibirnya yang masih gemetaran sempat mengatakan,
"Ibu, maafkan aku"
Dari lubuk hati yang paling dalam.Gambaran dirinya berlari di tengah-tengah ladang jagung tergambar jelas di benaknya. Raut panik, kaki yang berlari cepat, tubuh yang berkeringat, nafas yang tidak teratur, mulut yang sesekali berteriak, serta kepala yang sesekali menoleh menghadap belakang tubuhnya.
Seragam lengkap, serta tas punggung yang masih ia gendong masih melekat di tubuhnya waktu ia berlari di ladang jagung. Seperti ada monster yang sedang mengejar dan mengintai dirinya, dia terus saja berlari hampir menyusuri seluruh ladang jagung yang mulai memperlihatkan jagungnya.
Oh, rupanya itu bunga tidur gadis yang tertidur usai mengeluarkan semua kesedihan yang tidak kuasa ia tampung.
Ia kembali mengeluarkan keringat serta nafas yang tidak teratur. Matanya memerah, tubuhnya gemetaran seperti sedang tersengat listrik bertegangan tinggi.
Segelas air putih diharapkan dapat membantu menenangkan sebuah getaran dalam dirinya dan lekas tenang kembali.
"Ibu....ibu...ibu" mulutnya berulang kali memanggil sang ibu yang tidak ada di sampingnya untuk mendampingi putrinya.
Gadis itu masih dengan seragam sekolahnya yang mulai lusuh dan bau keringat.
Kesedihan itu telah menguasai semua pemikiran dalam otaknya sehingga dia tidak memikirkan aktivitas lain selain mengeluarkan air mata serta isak tangis.
Seekor kucing berbulu lebat datang menghampiri majikannya, seolah sang kucing itu mengetahui apa yang dirasakan majikan yang telah bersedia merawat dirinya dengan sesekali mengeluarkan suara, serta mengusap kepala di kaki sang majikan.
"Tidak apa-apa" kata majikannya.
"Apa kamu sudah makan?" tanyanya.
"Meow!"
"Ini" memberikan beberapa makanan kucing dari tangannya, membiarkan hewan kesayangan menjilat telapak.
Satu lembar kertas yang masih terbungkus oleh amplop putih persegi panjang tergeletak secara tidak hormat di lantai bawah. Gadis itu membiarkan surat "Kesialan" yang kusut tergeletak di lantai begitu saja tanpa dihiraukan.
Tetapi tetap saja, surat itu selalu berhasil mendapat perhatian gadis, membuat gadis tidak dapat mengacuhkannya walau surat itu tidak terlirik bola mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meera
Teen FictionKehidupan Meera benar-benar hancur ketika resmi menerima surat pernyataan dari sang kepala sekolah. Dia yang jauh dari keluarganya tidak ingin memberitahukan hal ini sebab tidak ingin mengkhawatirkan mereka. Untuk memenuhi kehidupannya, ia rela menj...