Apa yang terjadi pada gadis itu, membuat dirinya pun ikut merasakan kekecewaan yang tertanam dalam kalbu.
Ia tidak memberikan sepucuk surat pembawa sial itu kepada siapapun, bahkan sanak keluarga. Entah berlabuh pada siapa, gadis itu tetap ingin menutupi kejadian ini seorang diri.
Meera, gadis yang sedang mengalami sial dalam hidupnya kini sedang jauh dari anggota keluarganya. Ya, untuk menempuh pendidikan Meera rela jauh dari seluruh anggota keluarganya. Dia meninggalkan kedua orangtua serta seorang kakak laki-laki yang sangat menyayanginya.
Karena memiliki kecerdasan yang bisa dibilang cukup tinggi, ia lolos dalam pendaftaran bidik misi di sekolah menengah atas. Orangtua Meera patut berbangga padanya dalam hal kecerdasan.
Akan tetapi, akankah rasa bangga itu dapat mengalihkan sepucuk surat yang sudah memasuki kehidupan Meera saat ini?.
Surat itu ada di genggaman Meera yang bahkan seharusnya bukan kesalahan Meera. Surat itu Meera terima bukan semata-mata Meera yang melakukan kesalahan. Bagaiman bisa? Sekali saja dia belum pernah melanggar peraturan selama sekolah disana, dengan tiba-tiba dia dipanggil dengan kepala sekolah dan menerima surat itu.
Dengan sengaja, ia mematikan ponselnya agar tidak terdengar suara nada dering ponsel yang mengganggu dirinya, terlebih jika penelepon itu adalah ibunya.
Entah sampai kapan ia dapat mempertahankan kebenaran ini walaupun ia tahu betul dengan pepatah,
"Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga"Di depan kaca berukuran 2x3 meter ia menunjukkan lekuk tubuhnya yang hampir seluruhnya terbalut handuk.
Ia menyesali bentuk tubuhnya kini. Beberapa luka yang belum sepenuhnya kering masih terlihat jelas.
Luka pertama, terdapat di lehernya. Bukan sepenuhnya luka, hanya saja seperti noda merah pada sebuah baju. Tidak hanya satu, melebihkan tiga noda di lehernya. Itu membuat mengingat kejadian sesudahnya.
Beralih ke kedua lengan, lebam di lengannya masih jelas terlihat. Lebam yang membentuk seperti sebuah genggaman erat. Tidak hanya lebam di lengannya, luka yang disebabkan oleh beberapa kuku jari tangan manusia juga bersarang di lengannya serta bagian tubuh yang lainnya.
Perlahan bibir Meera semakin gemetaran serta ingin mengeluarkan suara tangisan yang amat keras. Matanya mulai berkaca-kaca.
Ia mengingat kejadian demi kejadian di malam pertama ia terkurung dalam sebuah gudang sunyi nan gelap jauh dari kebisingan kota.
Ia mendapat pukulan pertama begitu menemukan ujung jalan ladang jagung itu, menyebabkan kepalanya merasakan pusing. Pukulan pertama ia dapat dengan bantuan tongkat kayu.
Dalam keadaan setengah sadar, dua lelaki membawa Meera ke sebuah gedung tua yang gelap dan sunyi dengan keadaan sekitar yang lusuh.
Dua lelaki menemui seseorang yang terlibat lainnya dengan membawa gadis belia yang telah lemas di hadapannya.
Rupanya bukan hanya dua orang, melainkan 4 orang lainnya masih ada dalam seluk beluk gedung tua.
Dua lelaki telah berhasil menjaring Meera dalam gedung tua, empat lelaki lain telah menunggu kehadiran gadis belia incaran di hadapannya.
Para lelaki yang memakai pakaian serentak. Memakai topi, masker mulut, sarung tangan, pakaian tertutup, hingga wajah dari mereka tidak dapat terlihat dengan seksama.
Salah satu dari dua lelaki yang sedang menunggu kehadiran Meera di gedung tua menatap Meera seolah ia terkejut dengan gadis di hadapannya itu. Lelaki itu diam menatap Meera dengan pandangan yang berbeda dari 5 lelaki lain yang terlibat.
"Assalamualaikum cantik" sapa lelaki pemakai sweater hitam diiringi gelak tawa bermaksud jahat.
Meera semakin lemas begitu sampai di gedung tua yang sesak nyaris tidak terdapat ventilasi.
Dari sekian lelaki yang menyambut bahagia kedatangan Meera, gadis incaran mereka telah tiba menghadap pada mereka, dia merupakan satu-satunya lelaki yang pergi meninggalkan yang lain begitu Meera tiba serta membuat para kaumnya terheran.
Lelaki itu menuju atap gedung dengan cekatan, disusul teman sekongkolannya.
"Aaaaargggghhh!!!" lelaki itu berteriak menyampaikan kekesalannya pada langit biru.
Selepasnya dari kejadian itu, Meera telah menemukan sebuah coffe shop di pinggir kota.
"Kami memang sangat membutuhkan karyawan mengingat pelanggan kami terus meningkat" ujar pemilik coffe shop.
"Syukurlah, terima kasih pak. Kapan saya bisa mulai bekerja?"
"Sebelumnya, kamu akan menjalani masa pelatihan selama satu minggu. Dalam waktu satu minggu kamu mampu, kamu akan mendapat pekerjaan tetap. Besok, datang jam 8 pagi jangan terlambat" ujar pemilik.
Peristiwa itu membuat dirinya merasa canggung berada di sekitar orang-orang yang tidak ia kenal, terlebihnya seorang pria.
Terlepas dari pelayan cafe, ia memiliki niatan untuk pergi ke pasar guna membeli bahan makanan yang biasa ia lakukan setiap harinya.
Seseorang mengejar Meera secara tiba-tiba. Seseorang yang berpakaian persis dengan orang-orang yang berkomplot atas peristiwa mengerikan. Lantas, Meera memutar balik arah ia berjalan untuk menghindari seseorang yang mengejarnya tersebut, melupakan akan niatan pergi membeli bahan makanan.
Nafas yang tidak beraturan tidak ia hiraukan. Berlari terus berlari, hingga pada saat ia menabrak dua orang perempuan, dia berhenti berlari.
"Maaf" Sepatah kata sempat ia katakan.
Pemikiran soal peristiwa itu tidak dapat terhapuskan dalam benak Meera. Dampaknya, ia terus merasakan ada orang yang selalu menguntit serta mengejarnya dengan pakaian yang sama persis dengan komplotan itu.
Memang bukan hal yang patut untuk disepelekan. Mengingat peristiwa sebelumnya, tentu saja ia memiliki sesuatu semacam trauma, karena hal tersebut.
Orang lain yang biasanya membutuhkan sebuah support untuk membantu mereka melawan rasa phobia entah dari kalangan teman maupun keluarga, berbeda hal dengan keadaan dan kondisi Meera. Ia memilih untuk bungkam atas semua kejadian yang sebenarnya kepada siapapun bahkan keluarga dekat tanpa pengecualian.
Keringat dingin bercucuran hingga menetes meninggalkan beberapa titikan air di jalanan. Ia menghela nafas panjang usai berlari sekitar 50 meter.
"Jelas-jelas dia mengajarku" Meera menggerutu dengan masih dalam perasaan was-was pada lingkungan sekitarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Meera
أدب المراهقينKehidupan Meera benar-benar hancur ketika resmi menerima surat pernyataan dari sang kepala sekolah. Dia yang jauh dari keluarganya tidak ingin memberitahukan hal ini sebab tidak ingin mengkhawatirkan mereka. Untuk memenuhi kehidupannya, ia rela menj...