Hari Sakral

23 4 0
                                    

Pagi sekali ia sengaja datang mengunjungi kedai ice cream dan toko roti milik kedua orang tuanya warisan dari leluhur dengan resep yang turun temurun.

Meera berkenan membantu beberapa karyawan dalam proses pembuatan ice cream pada hari ini. Mbak Ratih, salah satu karyawan toko yang sudah bekerja sejak kedua orang tua Meera mengambil alih kedai. Mbak Ratih sudah mulai bekerja saat usia 13 tahun, karena kondisi keuangan keluarganya yang tidak stabil.

Manusia pertama yang menginjakkan kaki di kedai ialah mbak Ratih, selaku karyawan abadi.

"Selamat pagi!" menyapa riang.
Mbak Ratih yang mengenal suara riang itu tertular riang.

"Waa!!! Meera!" sambutnya gembira.

"Apa kabar mbak?" merangkul mbak Ratih dengan erat.

"Baik, kamu pulang? Kapan sampainya?"

"Satu minggu yang lalu mbak, cuma baru mampir sekarang. Di belakang belum mulai?"

"Belum ada yang datang"

"Oh, begitu. Aku ke atas ya mbak"

Meera berjalan menaiki anak tangga yang mengantarnya pada sebuah atap kedai.

"Huh, tempat ini tidak banyak berubah"
Ruangan tak beratap itu menjadi tempat lampu-lampu bergantungan dari satu sisi ke sisi yang lain. Banyak pula meja dan kursi yang dipadupadankan.

Semua bangunan yang lain terlihat dari atap kedai. Salah satunya ialah sebuah rumah berlantai dua, menampilkan dua orang yang saling mengejar melalui jendela tak bertirai.
"Apa yang mereka lakukan pagi pagi begini" gumam Meera.

Meera mulai membersihkan semua meja calon pelanggan yang berdebu. Ia menyapu bersih seluruh debu tak tersisa.

"Selamat siang, anda ingin pesan apa?"

"Satu banana float, satu milkshake vanilla, dua kentang donat rasa green tea" kata pelanggan wanita.

"Baik, meja atas atau bawah?"

"Bawah aja mbak"

"Mohon ditunggu"

Sebuah papan persegi panjang yang tergantung pada pintu kaca telah menjadi petunjuk kedai tidak menerima pelanggan lagi.

Mbak Ratih disibukkan dengan menata semua perabot seperti hal biasanya, sementara Meera mencatat dan menghitung jumlah pasokan dari terang hingga petang pada tempat favoritnya, atap kedai.

Lampu-lampu yang bergantungan itu telah terpancar. Kerlipan lampu kendaraan terlihat, serta lampu pada setiap bangunan menambahkan sinarnya.

Rumah dua lantai yang berjarak satu petak amat gelap malam ini. Dua orang yang berkejaran sudah terlelap, namun jendela tak bertirai itu tetap terbuka.

"Apa mereka terlalu sibuk berkejaran smpai tidak menutup jendela" gerutu Meera.

Atap kedai sudah gelap, kembali ke dalam kedai berkenan memadamkan seluruh lampu.

Seekor kucing bermata biru, berbulu lebat, sekaligus berekor panjang mencuri perhatian Meera. Suara lonceng pada lehernya berbunyi nyaring. Ia menyempatkan untuk menyapa kucing manis tersebut.

Entah mengapa dan apa yang menyebabkan mata biru itu seperti berkaca-kaca.

"Kamu lapar?"

"Meow!"

"Kemana majikanmu?"
"Sebentar, mungkin aku punya camilan di kulkas"

"Duduk yang manis ya" menempatkan kucing itu pada meja.
"Aku hanya punya ini, makanlah"
"Maafkan aku, aku harus pulang. Nikmati makananmu, sampai jumpa"

MeeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang