Chapter 19 : Kaget

747 82 6
                                    

Really, don't judge a book by it's cover.

-Althea Theodora-

**********

Thea rasa dia benar-benar harus bertanya pada Theo mengenai masalah permen itu.

Karena dia terus mendapatkannya selama seminggu ini dan itu mulai menghawatirkan. Meskipun laki-laki itu hanya bermaksud meminta maaf, tapi bukan berarti dia harus melakukannya setiap hari. Lagipula Thea sudah memaafkannya, cukup dengan permintaan maaf secara langsung seperti kemarin di lapangan. Dia tidak perlu mengirimkan permen setiap hari di kelasnya. Entah kenapa itu malah membuat Thea merasa sedikit takut.

Tapi dia akan memikirkan soal itu nanti.

Sekarang dia sedang berada di dalam mobil Sean. Seperti janjinya, Sean mengajaknya pergi menonton bioskop. Dia menjemput Thea tepat waktu. Thea memejamkan matanya sambil bersandar. Hidungnya mengendus wangi parfum dari tubuh Sean. Wanginya menenangkan dan tidak berlebihan, Thea suka. Sean juga sudah memperbaharui tampungan musik di mobilnya. Seperti saat ini, lagu Without Me milik Halsey sedang mengalun di mobilnya. Salah satu lagu favorit Thea.

Tell me how's it feel sittin' up there?
Feeling so high, but too far away to hold me
You know I'm the one who put you up there,
Name in the sky,
Does it ever get lonely?
Thinking you could live without me,
Thinking you could live without me...

Thea ikut bernyanyi dengan lagu itu. Hal itu membuat Sean tersenyum di sampingnya sambil meraih tangan Thea. Gadis itu menyadari senyuman Sean kemudian melirik laki-laki itu dengan sebelah alis terangkat. Mulutnya berhenti bernyanyi hanya untuk bertanya. "Kenapa kamu senyum-senyum sendiri begitu?"

"Cuma lagi mikir," Sean menatap jalanan di depannya. "Kalo kamu jadi vokalis Union pasti sekarang band sekolahnya udah bubar."

Thea terbelalak. "Ih, kok jahat?"

"It's called honesty."

Thea mendengus. "Ngomong-ngomong, gimana kabar Robin sama Naye?"

"Hmm? Mereka baik-baik aja."

"Maksudnya hubungan mereka."

Sean terdiam. Mendadak dia memikirkan perdebatan antara Ben dan Robin di kafe tempo hari. Semenjak saat itu, hubungan mereka berdua terkesan lebih dingin. Sebenarnya Sean sendiri merasa aneh jika pertemanan mereka harus rusak hanya karena satu orang gadis. Tapi jika berkaitan dengan perasaan dan perempuan, mungkin itu zona yang sensitif. Sean hanya bisa berharap mereka bisa menentukan apa yang terbaik bagi mereka. Bukan hanya egois dengan perasaan mereka saja.

"Katanya Robin sama Naye memang lagi dekat," gumam Sean.

"Tuh 'kan?" Thea tersenyum senang. "Tinggal tunggu tanggal jadian kayaknya, bisa keduluan deh si Klein mah."

Sean tertawa pelan. "Ian juga bilang begitu."

"Wajar sih, Mara kayaknya orangnya lebih hati-hati gitu," gumam Thea pelan.

"Tahu dari mana kamu?"

"Yah, dengar-dengar aja, abisnya kan aneh dia cakep dan pinter tapi belum punya cowok, itu artinya dia pemilih 'kan?" Thea mengutarakan jawabannya dengan logis. "Atau mungkin dia memang ga pernah pacaran dan takut pacaran bakal mempengaruhi nilai dia, bisa juga sih."

Sean mengedikkan bahunya. "Entah, Klein juga ga cerita banyak soal Mara kok."

Thea mengulum bibirnya kemudian mengangguk. Matanya kembali menatap jalanan kemudian mata gadis itu mengerjap. "Eh, Sean, boleh ke pinggir sebentar ga?"

Sean (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang