Prolog : Sekutu "Lima Jari"

1.8K 152 2
                                    

"Cuma ada dua tipe cewek di dunia,

Cewek kalem dan cewek berisik."

-Sean Rawindra-

**********

Mata seorang laki-laki terfokus pada rintikan air yang jatuh dari terpal di sebelah jendela kantin. Mulutnya sibuk mengunyah bakso yang dia pesan sepuluh menit yang lalu. Dia buru-buru memakannya sebelum kuah bakso itu mendingin karena cuaca dingin hari itu. Kepalanya menoleh ke sisi kirinya dan melihat sosok teman-temannya yang sedang sibuk makan. Keempat temannya itu makan sambil berceloteh, berbeda dengan dirinya yang lebih menikmati hening dan hujan.

Bagaimana dia bisa cocok main dengan keempat temannya yang lain?

Entahlah dia sendiri juga bingung.

Tapi Sean merasa nyaman bersama dengan mereka. Terutama dengan Ben. Ben adalah laki-laki yang saat ini duduk di sisi kirinya, memakan menu yang sama dengan dirinya. Tapi mulutnya tidak hanya mengunyah bakso, tapi sedang berbicara dan tertawa dengan keanehan yang dilontarkan Klein. Klein, bisa dibilang adalah ketua kelompok mereka karena dia adalah sosok paling menonjol di grup mereka.

"Kurang lebih udah 20 cewek yang nanya sama gue begini," Klein berdeham, bersiap menirukan suara perempuan yang terdengar menggelikan di telinga Sean. "Klein, lo itu model ya? Soalnya nama lo aja mirip sama Calvin Klein, merk terkenal itu lho. Apa selama ini lo model mereka?"

Sean mendengus, menyesal sudah memutuskan membuka telinganya untuk mendengar hal tidak penting itu. Klein memang paling menonjol karena dia sosok yang paling terkenal. Selain dia adalah kapten tim voli di sekolah mereka, dia juga sosok yang paling dikejar-kejar banyak perempuan. Tentu saja karena wajah dan mulutnya yang pintar dan cerewet. Tapi selain itu, reputasinya di sekolah tidak sebagus itu. Tapi karena reputasi yang tidak baik itu, dia dikenal oleh banyak guru dan mendapat julukan jari tengah di kelompok mereka.

Ngomong-ngomong, mereka berlima dijuluki sebagai Sekutu Lima Jari di sekolah.

Sebutan itu muncul karena memang mereka sering terlihat berlima di kantin. Benjamin Yudhistira atau yang dikenal sebagai Ben mendapat julukan ibu jari atau jempol. Ben adalah laki-laki berprestasi yang dua minggu lalu baru saja mengikuti lomba Fisika tingkat nasional. Bisa dibilang Ben adalah sosok medali itu di sekolah. Selain jabatannya sebagai ketua OSIS, dia pintar dan ramah pada siapa saja. Dia tidak pernah melanggar peraturan sekolah.

Berbanding terbalik dengan Klein yang mendapat julukan jari tengah karena reputasinya sebagai pentolan.

Dan lagi, bagaimana mereka bisa akrab?

Sean sendiri tidak tahu kenapa takdir sangat aneh karena mempertemukan mereka sebagai teman. 

Dua orang lagi yang belum Sean sebutkan adalah Cillian dan Robin. Cillian, atau yang semua orang panggil Ian, mendapat julukan jari kelingking. Hal itu dikarenakan dia adalah pembuat janji paling pintar dengan perempuan. Paling pintar mengingkarinya. Mulutnya terlatih dengan berbagai bahasa gombalan yang selalu bisa membuat kaum hawa mengerjap heran. Entah sudah berapa banyak perempuan yang janjinya dia ingkari sepanjang tahun.

Yang terakhir adalah Robin yang dijuluki sebagai jari manis. Dia, sama seperti Ian, adalah sosok yang terkenal dengan reputasinya dengan gadis-gadis. Mulutnya pintar merayu dan membuat perempuan luluh padanya. Alasan kenapa Robin dan Ian mendapat julukan jari manis dan jari kelingking juga karena mereka selalu berdua. Mereka selalu sekelas di jurusan yang sama, dua perayu perempuan yang tidak terpisahkan.

Oh, Sean bahkan lupa menyebut tentang dirinya sendiri. Banyak orang yang bilang kalau Sean adalah sosok paling bijak di antara mereka. Dia yang selalu menghentikan pertengkaran dengan satu kalimat. Karena itu dia mendapat julukan sebagai jari telunjuk. Karena memang apa yang dia tunjuk selalu benar. Bisa dibilang dia mendapatkannya karena dia pembuat keputusan berkepala dingin. Banyak orang bilang dia juga dingin, mungkin karena itu kepalanya dingin.

"Kleeeeinn!"

Sean berhenti melamun dan meringis ketika dia mendengar suara melengking itu dari luar kantin. Suara itu seperti petir di tengah hujan yang damai. Matanya bahkan tidak mau menengok ke arah kantin karena dia sudah bisa menebak suara siapa yang barusan membuat kepalanya sakit. Sebelah tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya yang mendadak terasa berdenyut. Dia benar-benar tidak suka dengan cewek berisik.

"Thea," gumam Klein. "Ada apa?"

"Cuma pengen nyapa lo aja," Thea tersenyum lebar. Mata gadis itu menelusuri seisi meja itu. "Hai, Ben. Hai Robin dan Ian. Hai-" ucapan Thea terhenti ketika melihat sosok satu laki-laki yang tidak tersenyum untuk menyapanya. Mata laki-laki itu hanya fokus pada kuah bakso di mangkuknya. "Hai beruang kutub," ucap Thea pada akhirnya.

Hal itu membuat Sean mendelik ke arahnya. Seisi meja itu hanya bisa menghela napas melihat kejadian ini terulang lagi. Setiap kali Thea datang, Sean dan gadis itu pasti selalu saja beradu tatapan sengit. Mereka juga bingung kenapa keduanya selalu seperti itu padahal mereka jarang mengobrol. Tapi Sean memang kelihatan sangat membenci gadis itu sejak pertama kali gadis itu berkenalan dengan grup mereka.

Thea adalah sosok cheerleader yang bisa dibilang menjadi maskot terbaik di sekolah mereka. Dia adalah gadis paling ceria dan dikenal oleh siapa saja di sekolah. Selain itu dia juga cantik dan murah senyum. Karena itu grup mereka selalu bingung kenapa Sean begitu membencinya. Tapi kemudian Ben mengingatkan mereka kalau Sean memang tidak menyukai gadis yang terlalu berisik. Dan Althea Theodora, sebagai ketua pemandu sorak yang paling bersemangat, memiliki suara yang keras dan dia memang banyak berbicara.

"Jangan dikerucutin gitu bibir lo," suara Robin memecah tatapan dingin yang Sean dan Thea saling lontarkan satu sama lain. Robin tersenyum pada Thea sambil mengerling. "Bidadari sekolah lebih cocok banyak senyum."

"Kalo lo senyum nanti gue pacarin," tawar Ian menambahkan. Nah, ini dia janji kosong ala Cillian Prakarsa.

"Ga mau," Thea mendengus kesal. Dia menyentuh pundak Klein. "Gue maunya sama Klein aja."

"Gas terus aja, Klein," gumam Robin terkekeh.

"Oke, oke," Klein tersenyum manis pada Thea. "Gue temenin lo hari ini, abis ekskul kita ngumpul bareng anak voli, gimana?"

Wajah Thea langsung bersinar seperti pohon natal yang baru dipasang ibu Sean kemarin. "Mau banget!" matanya kemudian melirik ke arah Sean. "Asal ga ada si beruang kutub, gue setuju."

"Siapa juga yang mau ikut?" Sean mendengus jengkel. Dia bangkit berdiri duluan setelah menghabiskan es milo di gelasnya. "Gue duluan ya. Abis makan bakso pedes, liat cabe. Pantesan daritadi minum pedesnya ga ilang."

"Sean!!"

Sean meringis sambil berjalan keluar kantin. Dia mengabaikan suara Thea yang menjeritkan namanya. Toh, ini bukan pertama kalinya dia menjerit seperti itu. Sean benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa ada spesies gadis seperti Thea di dunia ini. Mungkin globalisasi sudah membawa petaka bagi umat manusia memang benar. Jika semua perempuan seperti Thea, Sean lebih baik tidak berbicara sama sekali dengan spesies mereka.



Sean (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang