Chapter 16

1.3K 141 17
                                    

Desclaimer : Masashi kishimoto

Rated : M

****

De javu, satu kata yang terlintas saat lagi-lagi pria raven itu berjalan tergesa, setengah berlari melewati sepanjang koridor. Beberapa perawat memperingatinya untuk tidak berlari di koridor. Namun, seperti beberapa puluh tahun lalu, ia sama sekali tidak peduli.

Ia harus segera menemui Cucunya, memastikan keadaan pria kecilnya itu baik-baik saja. Pintu ruang rawat khusus luka bakar VVIP itu ia buka dengan tidak sabar. Membuat seluruh penghuni terlonjak kaget dan dengan serentak menatap pintu masuk.

Sasuke menatap satu persatu penghuni ruangan. Menma masih memeluk Yuuki yang sama sekali tidak fokus, tatapan kosong dari keponakan sekaligus menantunya itu membuat Sasuke meringis dalam hati.

Tentu saja pemuda itu akan sangat terpukul mendapati ayahnya tewas dengan cara tragis, ditambah anaknya pun turut jadi korban.

Melirik kearah lain, Sasuke mendapati anak perempuannya berbaring tidak sadarkan diri di sofa dengan bekas air mata yang jelas terlihat. Di sampingnya, Iwabe dengan setia mendampingi sembari mengelus rambut pirang Naruko.

Anak bungsunya duduk tepat di samping ranjang Shin, menatap tanpa ekspresi padanya. Sedangkan Kyuubi, sama sekali tidak terlihat di ruangan itu.

"Sasuke-jiisan?" suara lemah di samping Boruto mencuri perhatian sang Uchiha. Ia menatap cucunya yang terbaring di tempat tidur. Anak lelaki itu tengah duduk bersandar pada sandaran ranjang dengan sebuah bantal di belakang punggungnya sebagai bantalan.

Mata sebelah kanan tertutupi perban, leher dan lengan sebelah kanan pun dililiti perban. Satu ringisan lolos dari bibir kecil sang anak lelaki saat ia bergerak.

Tanpa berkata apa pun, Sasuke memasuki ruang rawat dan mendekati Shin.
"Bagaimana perasaanmu saat ini?" tanyanya begitu ia tiba di samping Boruto, menatap lurus pada Shin.

Shin menatap kakeknya beberapa saat sebelum terkekeh.
"Seperti yang Jiisan lihat, tubuhku penuh luka." Ia mengangkat kedua tangan dan meringis sedetik kemudian.

"Selain dari ini, aku baik-baik saja, Jiisan. Tapi Itachi-Jiisan ...." Ekspresi Shin berubah sedih. Ia menunduk dan menatap pada perban di lengannya. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa menjinakkan bom itu lebih cepat. Keleletannyalah yang membuat Kakeknya itu tewas.

Ditambah rendahnya kemampuan fisiknya membuat Itachi terlambat menyelamatkan diri karena mendahulukan keselamatannya. Sebuah elusan pelan ia rasakan di kepalanya. Ia mengangkat kepala dan mendapati Sasuke tengah menatapnya teduh.

"Jangan menyalahkan dirimu karena ini bukan salahmu." Sasuke menelusurkan jemarinya pelan pada perban di wajah shin, leher dan lengan Shin.

"Kami minta maaf, Shin. Karena telah melibatkanmu pada masalah yang tidak seharusnya diketahui oleh anak seusiamu." Sasuke menatap penuh penyesalan pada Shin.

Orang-orang yang berada di dalam ruangan menatap interaksi kakek dan cucu itu dalam diam. Menma dalam hati menyetujui perkataan Sasuke.

Bagaimana pun, ia yang pertama kali mengizinkan sang anak melibatkan diri hingga jadi seperti ini. Jika saja ia lebih tegas melarangnya, maka semua ini tidak pernah terjadi.

Melirik pada sosok pria yang menjadi pendamping hidupnya yang kini dalam pelukan. Mengelus rambut Yuuki lembut, pria ini begitu sabar menghadapi segala penderitaan yang di akibatkan kesalahannya di masa lalu. Bahkan pertemuan mereka pun di awali dengan saling mengacungkan senjata.

Tapi ia tidak menyalahkan, pria ini justru mengulurkan tangan padanya. Ia menerima saat dirinya menawarkan sebuah komitmen di usia mereka yang masih muda. Tapi apa yang telah ia berikan padanya? Hanya sebuah penderitaan ....

"Menma, di mana Kyuu-Nii?"

Menma mengalihkan pandangannya, ia menatap lurus pada Sasuke yang baru saja bertanya.
"Aku tidak tahu, Tou-san. Setelah Itachi-Tousan dievakuasi dan memastikan keselamatan Shin, dia pergi entah ke mana."

Sasuke mengernyit, Kakak iparnya itu memiliki kebiasaan melakukan sesuatu yang gila jika terbawa emosi. Rasa khawatir perlahan menyusup dalam hati. Dugaan-dugaan buruk mau tak mau memenuhi otaknya. Bagaimana jika kakak dari Naruto itu melakukan sesuatu yang gila?

Ponselnya berdering, membuat Sasuke menghentikan lamunannya. Ia meraih ponselnya dan menerima panggilan dari salah satu anak buahnya yang saat ini tengah melakukan penyusupan di markas musuh.

"Ada apa?" ujarnya begitu telepon tersambung.

Diam beberapa saat, Sasuke mengernyitkan kening.
"Kakak bodoh itu ...." dengkusnya.

"Siapkan penyerangan dari dalam secara diam-diam. Aku akan menyerang dari luar. Dan satu lagi, utamakan keselamatan Kakak iparku." Usai memberi perintah, Sasuke mengakhiri panggilan.

Ia menatap pada Menma yang memperhatikannya sedari tadi.
"Kau ikut aku, Menma. Kita akan melakukan serangan besar-besaran pada musuh."

Menma mengangguk, ia melepaskan pelukannya pada Yuuki perlahan dan bangkit dari duduknya.
"Aku akan segera siap-siap."

Sasuke dan Menma baru saja akan pergi meninggalkan ruangan, Yuuki menggenggam ujung baju Menma, membuat pria itu menghentikan langkahnya dan menatap pada Yuuki.

"Aku ikut." Yuuki menatap pada Menma tanpa keraguan. Tekad kuat terpancar dari kedua mata merah menyala itu. Dada Menma bergetar, tatapan Yuuki saat ini mengingatkannya pada pertemuan pertama mereka.

Puluhan tahun lalu, tatapan yang sama ia dapatkan dari seorang pemuda tanggung yang bahkan masih memakai seragam saat melawannya.

Menma meraih tangan yang masih menggenggam bajunya itu, melepaskan genggamannya perlahan, Menma menggelengkan kepala sebagai tanda bahwa ia tak mengizinkan.
"Tidak, Yuuki. Kau harus tetap di sini menjaga Shin, Boruto dan Naruko. Biar aku dan Sasuke-Tousan yang akan pergi."

Yuuki menatap kedua pria yang begitu berarti baginya dengan tatapan memohon. Namun, tetap gelengan yang ia terima. Raut wajahnya pun berubah kecewa.
Melihat raut wajah Yuuki, Menma berlutut di depan Yuuki.

"Yuuki, aku bukannya tidak mempercayai kemampuanmu. Hanya saja, anak-anak pun membutuhkan perlindunganmu. Jika kamu ikut, bagaimana kalau mereka datang lagi menyerang rumah sakit ini?" jelasnya.

Yuuki menghela napas pasrah, benar apa kata Menma. Tetap tinggal bukan berarti tidak melakukan apa pun. Keselamatan keluarganya adalah prioritas, karena itu, kemampuannya di perlukan di sini. Maka, ia pun mengangguk.

Menma tersenyum lega karena Yuuki mau mengerti. Ia menegakkan kembali tubuhnya sembari mengusap tiap helai raven Yuuki dengan sayang.

"Sasuke-Tousama, Menma-Niisama, izinkan aku untuk ikut serta."

Menma dan Sasuke menoleh pada Iwabe. Pemuda yang sebentar lagi akan menjadi menantu Sasuke itu berdiri tegak layaknya seorang anggota satuan tempur.

"Siapkan senjatamu sebaik mungkin, Iwabe-San," ujar Menma sebagai pengganti kata persetujuan.

Iwabe tersenyum puas dan mengambil posisi hormat. Ia meraih ransel berisi senjata miliknya. Sejak kasus diculiknya Boruto, ia memang selalu membawa senjata pribadi untuk melindungi Naruko.

Sasuke yang memang membawa beberapa senjata di kopernya—yang ia bawa dari Rusia, dibantu kemampuan menyelundupkan barang sang sahabat—tentu tak perlu melakukan banyak persiapan.

Tekadnya sudah bulat, dendam telah tersulut. Dalam penyerangan ini, Sasuke berjanji akan mengakhiri semuanya. Bahkan jika ia harus membunuh seluruh keturunan Sai sekali pun, akan ia lakukan.

Sebentar lagi, penderitaan keluarganya akan benar-benar berakhir.

"Ayo kita pergi."

TBC.

missing child 2: the chain hateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang