11

366 18 0
                                    

"Kita sudah menyetujui ini sebelumnya pak. Bahwasanya putra bapak akan menikah dengan putri saya." Kata seorang wanita paruh baya yang masih cantik.
"Benar." Jawab lelaki yang masih santai dengan kopinya.
"Dan kenapa anak bapak malah memiliki tunangan lain" Si wanita mulai menekan amarahnya.
"Lho...bukanya dia juga anak anda?" Si lelaki santai.
"Anda jangan bercanda" Si wanita menenegakan badan.
"Anda juga jangan terlalu tegang." Si lelaki berpangku tangan.
"Begini nyonya, anak saya sudah memilih jodohnya. Lagipula dia juga putri anda..." Si lelaki mengangkat jari telunjuknya kala si wanita hendak membuka suara.
"Jadi apa salahnya. Saya juga suka denga anak itu. Di begitu lucu.dan saya yakin dia dapat menjadi menantu kesayangan keluarga saya" putus si lelaki..

---x---

"Kamu dimana?" Fifian menelpon seseorang.

"..."

"Aku takut." Lirih fifian.

"..."

"Ak..aku..." Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya sambungan telepon terputus..

"Zack...." Fifian meneteskan air matanya lagi..

"Dengar. Kamu harus menggugurkan bayi itu.!" Nyonya Ily murka.
"Mi..aku menginginkan bayi ini." Fifian merintih memegangi perutnya.
"Persetan. Kalo aja kamu ga kenal dengan bajingan Zack itu." Nyonya Ily menunjuk seorang yang babak belur terikat di kursi.
"Mami..jangan sakiti Zack." Fifian memegang kaki nyonya Ily.

Cih.

"Bunuh dia!" Kata nyonya Ily pada bodyguardnya.
"TIDAAAAAAAAAAK..." Jerit Fifian mengiringi tertutupnya mata Zack..

Fifian tersentak.
Keringat dingin membasahi dahinya. Mimpi buruk itu benar-benar mengganggu kehidupanya. Ia begitu merindukan sosok Zack di sisinya. Dimana ia srkarang. Kemana maminya menjauhkan ia dati suaminya.
Setetes air mata lolos dari mata indahnya.
"Anda tidak apa-apa nona?" Tanya seorang menghampiri Fifian.
Tapi Fifian tak merespon.
Pandanganya kosong. Air mata mengalir dari netra sayunya.
Dr. Wendy mendekat Fifian. Ia periksa nadi Fifian. Kemudian ia membantu membaringkan Fifian ke tempat tidur.
Setelah menyuntikan penenang pada Fifian, Dr. Wendy meninggalkan ruangan kemudian menuju baklon.

"Kemungkinan ia depresi" Kata Dr. Wendy to the point ketika sambungan telepon di angkat dari seberang.
"...."
"Loe gila. Loe pernah suka sama dia bego!" Omel Dr. Wendy.
"..."
"But wait..where are you now?" Dr. Wendy mengerutkan kening.
"..."
Dr. Wendy hanya berdecih mendengar jawaban oknum di telefon.
"Shit.." Umpatnya kala mendapati sambungan yang diputus sepihak.
"Sinting loe Ga." Monolog Dr. Wendy dengan hp nya.

Di belahan dunia yang lain, seorang lelaki tampak termenung di samping brangkar rumah sakit yang di tempati oleh sesosok pria paruh baya yang terlelap dengan wajah pucat.
Pikirannya berkelana kemana permintaan sang ayah yang memberatkan hatinya. Mungkinkah, dapatkah, sanggupkah ia mengemban tanggung jawab yang menurutnya sangatlah besar itu.
Jujur, ia tak dapat menolak permintaan sang ayah. Tapi di sisi lain ,ada sosok yang lebih berhak. Dan yang membuatnya lebih pusing, orang yang lebih berhak tersebut ntah dimana keberadaanya.
"Azz...." Lirih Pak Lee.
Tim berjengkit dari lamunanya.
"Ayah.." Tim mendekat pak Lee.
"Tim, Azz mana?" Pak Lee lemah.
"Azz dalam perjalanan yah. Aku panggilin dokter dulu.." Tim beranjak.
Tak lama, dokter datang dengan...Azz..
"Kamu dari mana aja?" Tim memeluk erat Azz yang menghambur padanya.
"Maaf baru datang." Lirih Azz.
"It's ok" Tim mengecup pucuk kepala Azz.
"Tim. Azz. Om Lee mo ngomong ama kalian" Kata Dokter.
"Iyha Bang. Makasih yha" Tim mengurai pelukan Azz yang langsung menghambur ke Dokter yang di panggil Bang itu.
"Ayah ga papa kan?" Isak Azz.
Walau jarang bertemu. Tapi Dr. J adalah dokter yang dianggap keluarga oleh Azz.
"Hey..beby...don't cry.." Dr. J menghapus air mata di pipi Azz.
"A...ayah..." Azz masih sesenggukan. Tak pernah sebelumya ia begitu sesedih ini. Ia hanya takut kehilangan. Ia takut kalau harus merasa sendirian lagi. Jujur itu membuatnya merasa seperti mengulang lagi kejadian yang lalu. Yang membuatnya begitu terpuruk. Karena tak mudah untuk bangkit dari itu semua.
"Dengar. Ayah kamu baik-baik saja. Beliau hanya butuh istirahan. Sudah waktunya beliau pensiun dari pekerjaanya. Mungkin bersantai, menikmati hari tua dengan memancing, atau mengisi dengan Bermain sama.....cucu.." Dr. J berbisik di ujung kalimatnya.
Sedikit banyak dapat Mengurangi kekhawatiran Azz.
"Ok..saatnya kalian masuk. Aku harap kalian lebih dewasa." Dr. J melangkah pergi setelah sekali lagi menghapus air mata Azz.
Keduanya kemudian masuk kedalam.

AzzashyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang