Lima Belas

17 1 0
                                    

Hanya berdasar fakta rumit yang mengagumkan.
~Zelda~
Author pov

Kediaman Zelda begitu ramai, apalagi di taman. Suara tawa dari taman tak henti terdengar dari terasan kamar atasnya. Zelda melihatnya sesekali menanggapi apa yang dikatakan Gisti kepadanya. Ia serasa hanya ingin melihat pria itu dari atas teras kamarnya. Antara suka melihatnya tertawa, dan agak ragu untuk tahu fakta bahwa pria itu mencintainya.

Ia tahu, bahwa cinta memang hal yang umum di masanya. Tapi, ia ragu. Ia takut jatuh, dan itu sedalam-dalamnya. Lalu di buat patah dan merasakan kesakitan. Itu yang ia takutkan. Namun, perkataan Gisti waktu itu masih terngiang di lubuk hatinya. Bertahannya cinta itu terletak bagaimana kita menyikapinya.

"Zel."

"Apa Gis?"

"Turun yuk!"

"Mm, ga deh."

"Loh, padahal dari tadi aku perhatiin kamu lagi ngelihatin yang ada di bawah. Udah ayo!" Gisti menggenggam tangan Zelda lalu mengajaknya untuk ke taman. Semua yang ada di taman pun, sontak melihat kedatangan mereka.

"Mei, dari tadi kok gak kesini." ucap Kevin.

Zelda hanya terdiam lalu menunduk. Angkasa memperhatikan hal itu, apa mungkin ia penyebabnya?

"Angkasa pamit pulang ajah om," benar saja, Angkasa segera peka dengan apa yang diinginkan Zelda,mungkin. Zelda tak mau menanggapi apa yang dikatakan Angkasa.

"Loh, kok pulang? Kan saya masih pengen ngobrol sama kamu,"

"Eh, ini papa nanyain Angkasa."

Gisti mengernyit tapi tak mau buka suara. "Oh, ya udah kalau gitu. Tapi lain kali kita ngobrol lagi ya." ucap Kenan kepada Angkasa.

"Pasti om,"

Angkasa pun pamit, menyalami kedua orangtua Zelda. Dan bertos ria dengan Kevin, lalu. "Gis, gue pulang dulu."

"Iya Sa, ati-ati ya."

"Oke!" ucap Angkasa sambil meninggalkan taman itu tanpa pamit pada Zelda. Duuuuh, batin Zelda.

Zelda berlari menuju dalam rumahnya kembali. Sempat terdengar teriakan namanya namun tak diperdulikan oleh Zelda. Zelda cukup tuli dengan semuanya, entah mengapa rasa sakit muncul? Itu yang ada di benak dan fikiran Zelda.

"Hiiss" ucap Zelda memijat kepalanya, rasanya begitu sakit. Apa ini? Sakit sekali, mungkin karena pikirannya.

Zelda mencengkeram bantal yang ada. Ia mulai menangis, entah apa sebabnya. Kamar Zelda terbuka, dan benar saja ada Gisti disana. Gisti begitu terkejut melihat kemurungan Zelda. Ia mendekat ke arah Zelda, mengusap wajahnya dan terkejut dengan fakta bahwa Zelda menangis.

"Zel, kamu nangis?"

"..."

Zelda tetap diam, tak mau berkata apapun. Gisti yang tidak tahu dengan apa yang dirasa Zelda membuat ia mengucapkan "Ya udah, kamu nangis ajah ya. Tumpahin semua kesedihan kamu Zel." mengusap kepala Zelda dengan lembut.

Setengah jam, Gisti mengusap kepala Zelda dan bahu yang bergetar. Ia bahkan dulu tidak punya sifat kewanitaan seperti ini, bisa dikata ini adalah sifat yang bertentangan dengan dirinya. Tapi apa salahnya untuk sahabatnya sendiri.

"Gis,"

"Iya?"

"Aku mau ngomong,"

"Ngomong ajah."

Zelda menghembuskan nafas perlahan mencoba untuk memulai kejujuran. "Tapi janji jangan di sebarin ya!" Zelda menyertakan jari kelingking nya seperti anak kecil.

"Haa? Oke, janji." Gisti mengaitkan jari kelingkingnya. Sebenarnya ia ingin tertawa, sebab ia melakukan janji seperti ini terakhir kali saat SD. Haha.

"Kak Angkasa pernah nembak aku,"

"Haa?"

"Jangan bilang siapa-siapa,"

"Terus, jawaban kamu?"

"Aku tolak, tapi.. "

"Tapi apa?" Gisti begitu penasaran apa yang akan di ucapkan Zelda. "Tapi, kayaknya aku... "

"Aku apa Zelda?" Zelda begitu menggemaskan memang di mata Gisti. Mengucapkan sebuah kalimat saja sangat lama dengan keluguannya.
"Aku mulai suka sama dia."

"Haaa? Sumpah Zel?" Gisti melotot tak percaya.

"Tapi.. "

"Tapi apa Zel? Jangan buat aku penasaran deh." Gisti memang kesal saat ini, semoga saja saudaranya itu tidak mempengaruhi pikiran Zelda. "Tapi aku takut patah hati, aku takut Gis, apalagi kamu tahu sendiri kan kak Angkasa kek gimana?"

"Hmm, iya aku tahu. Tapi, kamu belum mengerti Angkasa yang sebenarnya."

"Maksud kamu Gis?"

Gisti menghembuskan nafas, ia seolah tak ingin menceritakan hal ini. "Gis! Maksud kamu apa?"

"Dulu.. Angkasa bukan orang yang seperti ini. Playboy, kasar. Dia baik Zel, dia itu menyembunyikan kebaikannya."

Zelda diam, apa yang ia rasa bahwa ada secuil kebaikan di diri Angkasa memang benar?

"Selain itu dia juga disiplin, dan sifat itu yang masih mewaris dari dulu. Hanya sifat baiknya yang ia sembunyikan sekarang."

"Kenapa seperti itu Gis?" sepertinya Zelda tertarik dengan tema pembicaraan ini.

Akhirnya Gisti mengungkap semuanya, dari mulai keluarga Angkasa yang awalnya baik-baik saja, bisa dikatakan family goals. Sampai ke masalah tentang cita-cita Angkasa.

Zelda mulai menatap Gisti yang bercerita lantang, air mata sudah ada di pelupuk mata. Seberat itukah perjalanan hidup Angkasa? Zelda sampai membandingkan dirinya yang sangat manja, sering marah-marah jika tidak cocok dengan anggota keluarga.

Hai Readers, udah lama nih ga publish. Miss u. Masih on wp kok. Tapi jadi pembaca 😂

Follow akun wattpad aku. Nanti dm, biar aku follback. Jangan sungkan", sans ajah.

Cerita ini terbengkalai. Semoga bisa tak selesaiin yaaa.

26 June, 2019
Love u


ZeldaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang