Dua

83 2 1
                                    


Dua hari di mulai begitu saja, Zelda mendekati bangku Gisti. Kemarin-kemarin, ia masih bingung harus mendekatinya atau tidak. Zelda merasa bukan siapa-siapa. Namun ia segera menghapus pikiran itu. Bagaimanapun juga, Gisti adalah temannya.

"Gis," Zelda memang pantas untuk di sebut anak SD. Suaranya itu loh, kecil dan menggemaskan sekali. Gisti hanya melirik ke arah Zelda. Tatapan sinis.

Zelda tak habis pikir, apakah itu Gisti?

"Gis.." nada agak panjang.

"Apa sih Zel?"

Zelda hanya tercengang. Apakah itu temannya? Sungguh? Mengapa berbeda seratus delapan puluh derajat seperti ini?

"Kamu?-" Zelda ingin melanjutkan, namun sikap kaku Gisti membuatnya ketakutan. Zelda menghela napas, lalu meninggalkan bangku Gisti dan beranjak ke bangkunya.

Gisti melihat langkahan Zelda, lalu menunduk. Ia tahu Zelda adalah anak yang baik. Namun mengapa ia menyakitinya?

Bel istirahat pertama terdengar.
Zelda beranjak menuju kantin, sendirian. Setelah di rasa kenyang, ia mulai melangkahkan kakinya menuju kelas. Namun, ia tercengang melihat sosok yang sedang duduk termenung di taman.

"Gis!" lagi-lagi Zelda memanggil temannya itu. Gisti menoleh dengan wajah terkejut. Lalu berpaling dari wajah Zelda yang mulai mendekatinya.

"Gis, kamu kenapa sih?"

Gisti masih saja diam, ia hanya ingin sendiri sebenarnya. "Gis, aku ini emang bukan siapa-siapa ya?" ucap Zelda dengan keluguannya dan mata berkaca-kaca. Hati Gisti serasa tak terima. Jadi anggapan Zelda seperti itu? Zelda salah besar, Gisti sangat menyayanginya. Meskipun baru berteman delapan hari ini.

"Zel, tidak begitu."

"Lalu?" nada anak kecil. Itu yang bisa Gisti dengar. Namun Gisti sangat suka dengan suara itu.

Anak baik. Celoteh Gisti dalam hatinya.

"Zel, aku tidak pantas berteman denganmu."Zelda terkejut. Maksud temannya itu apa? Tidak pantas?

"Maksud Kamu apa Gis?"

"Kamu baik, rajin. Ga pantes berteman sama aku yang berandal, dan sering bolos."

Sekali lagi Zelda tak percaya. "Jadi ini alasan kamu ngejauhin aku Gis?"
Gisti tak bisa mempungkiri. Itu memang benar. Ia merasa tak pantas mendapat teman baik seperti Zelda. Tanpa jawaban, Zelda yang angkat bicara.

"Gis, aku tidak pernah melihat sisi buruk kamu, entah itu sekarang atau di masa lalu."

"Tapi orang lain? Aku ini nakal Zel. Aku ajah, gak naik kelas pas SMP. Aku gak mau kamu malu punya teman kayak aku."

"Gisti! Apa maksud kamu? Tatap aku!"Gisti menatapnya, gadis lugu yang berusia satu tahun lebih muda darinya. Cantik sekali.

"Jika kamu salah di masa lalu, maka kita perbaiki di masa selanjutnya. Bukan kamu saja, tapi kita! Denganku Gis!"

Gisti Menggeleng dengan air mata berjatuhan. Ia tidak sedang bermimpikan? Ia tidak sedang bertemu malaikat kan? Tuhan sangat baik, ternyata Ia mengirimkan seorang teman baru yang sangat baik padanya.

"Zel," Gisti memeluk Zelda. Ia merasa memiliki satu hubungan yang berbeda. Bukan keluarga, namun sahabat. Secara dia anak tunggal yang kesepian. Mama dan papanya yang sering keluar negeri membuatnya tak mendapatkan perhatian lebih.

"Jadi kita sahabat kan Gis?" tanya Zelda.

Gisti mengangguk. Ia sangat suka dengan apa yang di berikan Tuhan kali ini. Kebahagiaan!

Tak jauh dari sana, ada mata jelalatan melihat pelukan sahabat baru itu dengan senyuman. Namun, ia terkejut ketika ada yang menepuk pundaknya.

"Sa! Di tunggu kepsek,"

Ha?

Kepsek?

Mata jelalatan itu menuju ke arah ruangan kepsek. Ia sampai di ruangan yang sangat ia kenal, sudah tiga kali dalam satu tahun terakhir ia berkunjung.

Muka malas ia persembahkan untuk seorang lelaki gagah di depannya. Agak tua, namun masih tetap tampan. Mata jelalatan tadi duduk di depan kepsek yang membelakanginya. Lalu kepsek memutar kursinya dengan santai.

"Tidak perlu basa-basi Angkasa, apa ulah yang kamu perbuat kembali kali ini?" Angkasa seolah denga wajah berpikir, masalah yang mana? Apa tadi pagi?

"Bu Rahayu!"

Oh, benar. Jadi wanita itu lagi yang membawanya kemari? Angkasa masih diam. Dia masih malas menjawab. Semuanya akan panjang lebar jika di jelaskan, dan ia sangat tidak suka itu.

"Aksa! Jawab!"

"Bapak selalu menuruti perintah ibu Rahayu agar memberikan tintah merah pada kelakuan saya, apa bapak tahu kejadian yang sebenarnya? Tidak kan?"

Kali ini Herman, sebagai kepsek terkejut. Maksud siswanya itu apa?"Maka dari itu Sa, saya menyuruhmu kemari untuk menjelaskan secara rinci."

"Percuma, bapak pun tidak akan percaya. Dan memang di dunia ini tidak ada yang menaruh kepercayaan pada saya,"

Sebenarnya ada nada sendu dari ucapan Angkasa. Herman bisa melihat itu. Beberapa bulan ini, Herman selalu memantau gerak-gerik Angkasa agar tak membuat ulah. Tapi tetap saja, masih ada ulah.

"Angkasa, jika kamu jujur. Saya akan percaya."

"Dari dulu saya jujur, namun mana kepercayaan bapak?"

Herman menghela napas, apakah ini juga yang membuat Angkasa sulit untuk di beri nasihat? Sepertinya, ia memang jujur.

"Baiklah, ceritakan terlebih dahulu." dengan nada malas, Angkasa mulai menceritakan kejadian kemarin dan itu dengan kata-kata yang jujur. Tanpa mengurangi apa yang ada, tiba-tiba suara pintu dalam ruangan terbuka.

Waduh, nih orang lagi? Apa maksudnya coba? Batin Angkasa.

Guru killer menurutnya. Dia ada di ruangan itu sedari tadi? Pasti ia akan berujung pada panggilan orang tua. Meskipun ia tahu bahwa pembantunya yang akan datang.

Rahayu mendekat ke arah Angkasa. Lalu menatap Angkasa. Dan, apa ini? Rahayu memeluknya? Angkasa merasakan keanehan. Bisa-bisanya guru killernya itu memeluknya?

"Atas kesalahan ini, saya minta maaf ya nak Angkasa."

"Tidak ibu, tidak perlu. Saya sudah memaafkan ibu,"

Herman mulai melihat sikap sopan Angkasa. Apakah itu Angkasa? "Sa! Maafkan ibu seklai lagi." wanita paruh baya itu membuat Angkasa mematung. Ia rindu di peluk mamanya. Iya, mamanya yang sekarang hanya meninggalkannya bersama pembantu-pembantunya.

"Ya sudah, kamu balik ke kelas. Nanti telat,"

"Iya bu, pak, permisi..."

Angkasa meninggalkan kesan bahkan lebih ke harapan pada Herman yang sekarang sedang menggeleng dengan senyuman.

Don't forget comment and vote yaa :)

ZeldaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang