PROLOG

9.3K 686 116
                                    

PROLOG


Pacitan, beberapa tahun sebelumnya...

Alma mematut diri, ia tersenyum saat bibirnya ia pulas dengan lipgloss bening. Rambutnya kali ini ia kepang samping. Pipinya bersemu ketika mengingat pujaan hatinya sudah kembali dari kuliahnya di luar negeri. Apalagi kepulangannya kali ini selamanya, mengingat lelaki itu sudah wisuda.
Alma menyemprotkan parfum khas remaja. Ya, Alma masih menginjak kelas VIII SMP. Alma bersekolah di salah satu SMP Negeri di kotanya.

“Nduk, sudah selesai belum? Ayo sarapan dulu!”

Alma langsung mengambil tas ranselnya dan keluar dari kamar. Senyumnya merekah ketika melihat nasi goreng dan telur mata sapi di piring. Dengan semangat Alma duduk dan mulai menikmati sarapannya.

“Bapak udah siap, Bu?”

“Kayaknya udah. Lagi di depan manasin motor. Kamu nanti pulang jam berapa?”
Alma mengendikkan bahunya. “Nggak pasti, Bu, kalau Senin. Nanti biar Alma nunggu di depan SMP aja.”

Setelah menyelesaikan sarapannya, Alma bergegas ke depan rumah memasang sepatunya. Langkahnya terhenti saat ayahnya di luar sedang bercengkrama dengan lelaki pujaannya. Tak pelak, hatinya berbunga-bunga. Gejolak cinta remajanya luar biasa tumbuh. Melihat tawa lelaki itu bersama ayahnya.

Alma melangkah perlahan dan duduk di teras memasang sepatunya. Sesekali ia mencuri-curi pandangan pada lelaki itu.


“Mas Saga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Mas Saga. Hihihi...” Alma bergumam sembari terkikik, mengagumi betapa tampannya lelaki itu duduk di atas motornya.

Alma mendekati mereka. “Pagi, Mas.”
Ayah dan lelaki itu menoleh padanya. Lalu senyum teduh khasnya langsung terulas. Alma yang melihat itu langsung merasakan pipinya menghangat.

“Kamu berangkat sama Saga aja.” Alma melongo, namun ia berusaha menahan senyum. “Lha kenapa, Pak?”
Saga yang menjawab. “Sekalian, Mas mau ke toko. Mau ada perlu.” Saga adalah anak dari pemilik toko bangunan terbesar di kotanya. Oleh karena itu, saat ia berkuliah di luar negeri tidak ada yang menyangsikan. Karena keluarganya memang berasal dari keluarga yang lebih dari mampu.

“Titip Alma, ya Ga! Jaga dia!” Pesan ayah Alma. Sagara hanya tersenyum dan mengangguk.

Setelah berpamitan, Alma dan Saga berangkat. Alma tidak dapat menahan debur jantungnya. Alma duduk miring, sebelah lengannya merasakan betapa hangatnya punggung Saga. Apalagi wangi lelaki itu membuat Alma semakin tidak keruan.

“Kamu sekarang kelas berapa, Al?”

Dengan sedikit berteriak Alma menjawab, “Kelas delapan, Mas.”

“Wah, sebentar lagi kelas sembilan terus SMA ya? Udah punya pacar belum?”

Alma bersemu, lalu menjawab, “Belum. Masih kudu belajar, Mas. Ih, Mas ini!”

Sagara tertawa. “Iya, kamu belajar dulu yang bener. Terus nanti baru deh cari pacar. Oh ya, nanti kalau pulang sekolah main ke rumah. Ada yang Mas mau kenalin.”

“Siapa Mas?” Alma penasaran, pasalnya baru kemarin Sagara pulang. “Pacarnya Mas. Insha Allah juga segera menjadi istri Mas. Dia penasaran sama kamu, soalnya Mas banyak cerita kalau punya adik yang manis.”

Alma belum mengerti rasanya patah hati, karena ia baru pertama kali iniia jatuh cinta. Namun, jika saat ini ia merasakan sakit hati. Senyumnya meluruh, matanya memanas, tenggorokannya seolah tersumpal batu, dan dadanya terasa sesak.

Beruntung ia sudah sampai depan sekolah. Tanpa menunggu lama, Alma turun, ia mengucapkan terim akasih lalu berlari. Sagara heran melihat Alma seperti itu. namun ia menyangka jika Alma telat untuk piket.

***

Sepanjang pelajaran, Alma tidak fokus. Teman sekelasnya yang tahu hanya menyangka jika Alma sedang haid. Alma terbiasa diam jika sedang haid. Apalagi wajah Alma pucat.

Di tengah pelajaran tiba-tiba ada guru piket yang mengetuk pintu. Semua siswa melihat. Llau setelah berbicara pelan dengan guru kelas. Guru piket itu mendkeati Alma.

“Alma, kamu pulang sekarang ya. Kamu masukkan buku-bukumu.”

Alma yang kebingungan hanya menurut. “Ada apa, Pak?”

Guru piket itu menatap Alma sedih, lalu mengelus bahu Alma. “Alma yang sabar ya. Alma harus kuat.”

Alma semakin tidak mengerti. “Allah lebih menyayangi ayahnya Alma. Ayah Alma kecelakaan dan meninggal dunia.”

Dan Alma tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Seorang remaja yang harus merasakan hal menyakitnya seperti ini. Alma hanya tahu jika pandangannya menggelap.

****

Haloooo.... Dea kembali hadir dengan cerita yang baru... Hari ini prolognya dulu ya... InshaAllah Minggu depan mulai up lagi...

Salam hangat,

Dealisa....


Cinta untuk Alma [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang