BAGIAN 8

4K 501 254
                                    

BAGIAN 8

Ibu Alma menatap sedih putrinya yang masih belum sadar. Dokter memberinya obat tidur agar tidak terlalu merasakan sakit. Meski sudah diberi pereda nyeri, tetap saja Alma masih mendesis dan mengaduh. Atensi Ibu Alma beralih pada lelaki yang duduk di sofa dan sibuk dengan telepon genggamnya. Tanpa dijelaskanpun, Ibu Alma tahu, jika lelaki itu menyimpan perasaan pada putrinya. "Nak Abi nggak pulang? Ibu kan udah ada di sini." Abi mendongak dan tersenyum, menyimpan telepon genggamnya. "Sebentar lagi, Bu. Mau nunggu Alma siuman dulu."

Ibu Alma merasa tidak enak jika lelaki itu menunggu lama-lama. Bagaimanapun juga lelaki itu atasan anaknya bekerja. Apalagi semua administrasi dan pemilihan kamar inap, lelaki itu yang mengurusnya. Kata Abi, semua itu sudah ditanggung oleh yayasan. "Terima kasih ya, Nak, sudah membawa Alma ke sini. Ibu nggak tahu lagi harus bilang apa."

Abi tersenyum lalu beranjak untuk mendekat ke arah ranjang Alma. "Ya Allah, Bu. Saya sama sekali nggak merasa keberatan. Saya hanya ingin Alma segera mendapat penanganan. Kalau boleh tahu, apakah dulu kecelakaan Alma hanya mengakibatkan pergelangannya retak, Bu?"

Ibu Alma mengangguk. "Iya, Alhamdulillah. Tapi ya hanya itu, waktu itu Ibu nggak bisa apa-apa. Ibu Cuma bisa nangis. Ibu Cuma sendiri waktu itu." Mata Ibu Alma sudah memerah menahan tangis.

Abi merasa hatinya tersentuh. Abi ingat jika Alma hanya tinggal bersama ibunya, ayahnya sudah meninggal. "Sekarang Ibu nggak perlu khawatir, sekarang ada saya yang akan menemani Ibu dan Alma."

Raut terkejut mendominasi wajah Ibu Alma, melihat keterkejutan itu, Abi tersenyum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Raut terkejut mendominasi wajah Ibu Alma, melihat keterkejutan itu, Abi tersenyum. "Ibu pasti tahu alasannya. Saya menyukai putri ibu. Mungkin saat ini kurang tepat waktunya. Namun, saya meminta izin untuk mendekati putri ibu. Saya ingin menjalani hubungan serius bersama Alma."

***

Setelah dari sekolah Alma, Saga langsung melesat menuju RSUD. Jalanan Kota Pacitan lumayan ramai, karena sudah waktunya orang pulang bekerja. Dengan memijit pelipisnya, Saga mengingat perkataan satpam di sekolah Alma.

"Tadi Bu Alma, jatuh. Nggak sengaja kedorong sama salah satu siswa, Pak. Terus sama Pak Abi di bawa ke RSUD kayaknya. Kasihan Bu Alma, sampai meringis-meringis gitu."

Jika saja ia yang menjemput Enzi, pasti ia tadi akan melihat atau setidaknya ia yang mengantar Alma ke rumah sakit. Bukan lainnya. Saga tidak mengerti mengapa ia harus merasakan perasaan tidak nyaman, saat mengetahui Alma bersama lelaki lain. Bukankah selama ini Alma hanya ia anggap sebagai adik?

Lalu ingatannya kembali pada catatan milik mendiang istrinya. Apakah benar sejelas itu jika Saga menyimpan perasaan lain terhadap Alma? Bahkan sejak Alma masih mengenakan seragam biru putih. Namun, mengapa ia sendiri tidak mampu menjabarkannya? Dan, bukankah selama ini ia hanya mencintai mendiang istrinya? Kalau tidak mengapa ia harus menikahi Jennifer? Saga memukul kemudi sembari mengetatkan rahangnya. Saga sudah berumur hampir tiga puluh lima, apakah pantas jika ia merasakan perasaan labil seperti ini?

Cinta untuk Alma [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang