XI : Black

51 7 8
                                    

20 Maret pukul 11:37 malam.

Itu adalah waktu kematian Jimin yang telah dipastikan oleh tim forensik.

Penyebab kematiannya tertulis "Kecacatan sistem pernafasan karena terendam dalam air" atau lebih dikenal dengan "tenggelam".

Setelah tanya jawab dan investigasi, pihak yang berwenang menarik kesimpulan bahwa itu adalah bunuh diri. Apalagi saat korban telah menuliskan surat kepada ibunya yang penuh akan permintaan serta harapan untuk ibunya agar selalu bahagia.

Disaat aku ada disini, ditinggalkan olehnya dengan tangan kosong.

Ia telah pergi.

Ia menghela nafas terakhirnya saat aku tengah terlelap.

Kudorong pintunya membuka dan baru kusadari bahwa pintu tidak terkunci.

Aku melangkahkan kakiku memasuki kamar mandi.

Kulihat sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku untuk kulihat seumur hidupku.

Lututku melemas gagal menopang tubuhku.

Di dalam bak mandi yang terisi penuh dengan air, terbaringlah Jimin.

Dan ia tidak bergerak. Aku terdiam di ambang pintu untuk sepersekian detik akan tetapi ia tetap tidak bergerak.

"Jimin!" rekasiku setelah itu adalah berlari kepadanya dan mengeluarkannya dari dalam air.

Akan tetapi aku telah kehilangan kekuatan di kakiku, jadi aku merangkak mendekatinya. "Tidak, tidak, tidak, tidak..." Ia hanya terbalut kemeja tak berlengan dan celana pendek di cuaca yang dingin seperti ini. Aku mencoba untuk menariknya keluar dari air namun ia cukup berat dan tanganku licin. Aku berhasil mengeluarkan kepalanya dari air. Wajahnya sedikit membengkak, akan tetapi aku masih bisa mengenali orang yang sudah tumbuh bersamaku ini.

"Jimin, jawab aku, tolong, Jimin" aku mengguncangnya.

Aku mencoba untuk mencari denyut nadinya akan tetapi aku tidak berhasil menemukannya, sama halnya yang terjadi saat aku mendekatkan telingaku untuk mendengar detak jantungnya.

"Jimin, tolong jangan seperti ini." Aku menutup mataku rapat-rapat, berdo'a dengan keras di dalam hatiku bahwa jika aku membuka mataku aku akan melihat Jimin melakukan hal yang sama. "Jimin, maukah kau terbangun?" air mata mulai memenuhi mataku yang tertutup rapat, tumpah begitu saja saat aku membuka mataku dan menemukan bahwa Jimin tidak melakukan hal yang sama.

"PARK JIMIN!" Aku berteriak sekuat tenagaku. Tidak ada balasan darinya, matanya tertutup rapat, wajahnya pucat, dan bibirnya berwarna kebiruan. Aku mencoba menaggil-manggil namanya sekali lagi namun terhalang oleh air mata dan sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku. Mataku terasa perih karena kurang tidur serta air mata yang menggenang, tenggorokanku sakit, kepalaku pusing, tapi yang paling menyiksa adalah rasa sakit yang berada di dadaku, rasanya seperti seseorang telah menusukku dengan pisau tiga kepala.

"Jimin" suaraku terdengar putus asa dan sangat bergetar. Aku memeluk tubuh dingin tanpa kehidupannya. Semakin sulit bagiku untuk bernafas, aku mencoba menarik nafas namun yang terjadi, aku tetap menaggil-manggil namanya. "Jimin, ada apa denganmu? Bangunlah... tolong." Aku memeluknya erat-erat, tanganku mengelus rambutnya. Lenganku, bagian atas tubuhku, serta rambutku basah kuyup akan tetapi aku tidak peduli sama sekali. Apa yang aku pedulikan saat ini adalah membangunkan dia.

"Sial... sial. Sial." Aku mengumpat dan membenturkan kepalaku di bak mandi berkali-kali. Kedua belah pipiku basah karena air mataku dan air dari bak mandi. Aku mendengar suara pekikan dari arah pintu dan kulihat samar bayangan Nyonya Park. Aku melihat beliau jatuh melemas di atas kedua lutut beliau. Namun kemudian pandanganku menggelap dan seluruh tubuhku melemas jatuh di atas lantai.

ColorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang