XIV : Surreal Truth

41 5 4
                                    

"Heiii... Benar-benar gambaran yang jelek." Ia mengejek sambil tertawa geli, senyum serta mata yang membentuk bulan sabit itu terlihat terlalu familiar.

Aku membeku saat mataku mengenali wajah si pemilik suara. Dadaku terasa sesak, bibirku yang sedikit terbuka bergetar. Kedua mataku terasa panas dan dapat kurasakan air mataku mulai mengaburkan pandanganku.

"Whoa. Jangan tersinggung, Jinhee," Ia mengangkat kedua lengannya ke samping, bertingkah seperti kriminal yang menyerahkan diri kepada polisi. Disaat aku mendengarnya memanggil namaku, baru kusadari bahwa segalanya adalah nyata. Aku bersusah payah berdiri dari kursiku, tubuhku terasa kebas namun aku berhasil berdiri dan berjalan menuju arahnya.

"J-Jiminnie..."

Aku tergagap. Sebelum kubiarkan diriku jatuh melemas, kutarik ia dalam pelukanku. Aku merindukannya. Aku sangat merindukannya hingga aku merasa mati setiap hari. Aku melawan keras dorongan untuk menangis yang membuatku terisak keras; kubiarkan wajahku terkubur di dadanya. Yang aku lakukan hanyalah memeluknya erat. Aku tidak berani melakukan apa-apa bahkan untuk berkata satu kata pun. Aku takut ia akan menghilang bersama dengan angin, takut bahwa ternyata ia hanyalah imajinasiku. Akan tetapi kehangatannya yang dapat kurasakan di kedua belah pipiku serta aroma seragam bersihnya terlalu nyata untuk sebuah kebohongan.

"Hei, aku tahu kalau kau sangat menyayangiku, tetapi tidakkah ini terlalu berlebihan?"

Namun apa yang dikatakannya berbanding terbalik dengan apa yang ia lakukan, lengannya kini memelukku lebih erat. Jemarinya mengelus rambutku pelan. Aku menghela nafas dalam-dalam, mencium parfum yang biasa ia kenakan, yang secara tak langsung sangat kurindukan. Kutenggelamkan diriku dalam kehangatan pelukan dan elusan lembutnya yang begitu nyaman. Aku masih terdiam memeluknya untuk beberapa saat. Aku ingin terus berada di posisi seperti ini untuk selamanya, akan tetapi pertanyaan dan kata-kata yang ingin ucapkan bergemuruh ingin diutarakan. Aku takut jika aku menundanya, aku akan kehilangan kesempatan itu lagi. Seperti malam itu.

"Jiminnie.. Kau disini.." Aku berusaha menarik kembali air mataku dengan mengedipkan mataku beberapa kali dan berdeham untuk menjernihkan suaraku sebelum akhirnya aku mengendorkan pelukanku dan menarik tanganku dari pinggangnya. Hatiku serasa diremas saat aku menyebutkan namanya, lebih menyakitkan saat aku akhirnya menatap wajahnya.

"Tentu saja aku disini, berada disampingmu adalah tempatku yang seharusnya," ia tersenyum. Aku telah terbiasa dengan pernyataan-pernyataan menggelikannya namun kali ini, pernyataan itu terdengar begitu tulus. Kupandangi wajahnya, terutama senyumnya yang begitu kurindukan. Aku sangat ingin menangis, namun pada saat yang bersamaan, aku tidak ingin ia melihatku menangis. Aku berusaha dengan keras menahan segala emosi yang kurasakan saat ia perlahan mengulurkan tangannya menyentuh wajahku. Tangannya terasa lembut dan hangat pada pipiku. Aku bisa mendengar detak jantungku dan darah yang terasa hangat berdesir di bawah kulitku. Segalanya terasa seperti mimpi namun nyata pada saat yang bersamaan.

Kami bertatapan selama beberapa saat. Pandangannya seolah mengerti segala perasaan campur aduk yang kualami. Tatapannya serasa menembus ragaku, namun kali ini terasa sangat menenangkan.

Namun, tetap saja, dia adalah seorang Park Jimin.

"Awww bayi kecilku"

Ia memecahkan atmosfir dengan menggencet wajahku dengan kedua tangannya. Pipiku menggembung dan bibirku mengerucut. Biasanya aku pasti akan memukulnya, memberi setidaknya sebuah pukulan pelan atau teriakan kepadanya. Akan tetapi pada saat ini, aku tidak melakukan semua itu. Aku tidak peduli dia mengejekku atau apa. Yang kupedulikan saat ini hanyalah ia kembali disini, bersamaku. Masih dengan posisi yang sebelumnya, aku tertawa, kurasakan mataku berkaca-kaca kembali namun aku berhasil menelan kembali air mataku. Meskipun wajahku kini mungkin terlihat sangat jelek, aku merasa bahwa yang baru saja ini merupakan tawaku yang paling indah di dua bulan belakangan ini.

Ia menertawai mukaku, aku bersumpah aku benar-benar menahan kerinduanku akan suara tawanya.

"Teman-teman tolonglah, jangan bermanis-manis di tempat umum." Suara yang ternyata milik Yoongi datang dari sisi belakang kelas. Ia baru saja memasuki ruangan dan duduk di bangkunya.

"Hei, katakan saja kalau kau butuh kasih sayang." Jimin melepaskan wajahku kemudian berjalan menuju Yoongi yang saat ini telah duduk bersandar di kursinya.

"Kemari, beruang manis~" Ia mengangkat tangannya bermaksud untuk mencubit pipi pucat Yoongi sebelum mendapatkan tendangan di perutnya. Aku menertawai keduanya. Jimin berdiri kesakitan. Namun tiba-tiba suatu kenyataan menyerang pikiranku.

Tunggu, mengapa Yoongi bertingkah seolah-olah tidak ada yang aneh dari kembalinya Jimin?

Apakah ini suatu gurauan? Aku benar-benar bersumpah bahwa dua bulan lalu, Yoongi menangis bersamaku dan Bangtan setelah kematian Jimin. Jungkook, Taehyung, dan Hoseok baru saja datang; membuka pintu belakang kelas dengan keras.

"Kalian tidak makan?" tanya Hoseok.

Mereka juga?

Pikiranku terlalu kacau untuk menjawab namun tiba-tiba saja Jimin berkata, "Jinhee tidak ingin makan jadi aku disini untuk menemaninya."

Para siswa lainnya mulai berlarian memasuki kelas, entah duduk kembali di bangku mereka atau bercakap-cakap dengan teman mereka di bagian belakang kelas. Akan tetapi, mereka semua bersikap normal seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Seorang bernama Kwak Minjae bahkan berbicara kepada Jimin untuk mengembalikan buku komik yang ia pinjam beberapa bulan lalu.

Sebenarnya ppa yang terjadi?

Setelah melamun beberapa saat, aku merasakan tekanan ringan pada bahu kananku. Jimin mendorongku untuk duduk kembali di bangkuku dengan pelan, kemudian ia duduk kembali di bangkunya. Kami kembali pada posisi kami seperti semula.

Ia kemudian mendorong buku sketsa itu kembali ke arahku, "Hei. Ada apa dengan pekerjaanmu? Itu terlihat... marah." Ia mengerutkan keningnya. Ia kemudian mengeluarkan pensil warnaku dan mulai mewarnai bunga lily itu dengan warna merah muda.

Aku tetap diam membeku untuk beberapa detik sebelum menyadari bahwa ia mengacaukan pekerjaanku. "P-Park Jimin," mataku membesar.

Ia menatapku sebentar sebelum kembali mewarnai sketsaku. "Hm?"

Aku memandanginya, ia mewarnai seperti anak kecil. Bibirnya membentuk senyum kecil dan matanya berbinar. Air mukanya menunjukkan kebahagiaan yang begitu tulus, yang dimana tidak pernah terlihat setidaknya sejak beberapa waktu lalu.

Saat itu, aku telah memutuskan untuk tidak begitu peduli dengan fakta bahwa ia merusak pekerjaanku. Aku tidak peduli jika ia mengejekku, aku tidak peduli akan kesedihan yang ia timpakan padaku beberapa hari belakangan, aku tidak peduli akan kebencianku padanya karena telah meninggalkan aku, dan aku tidak peduli betapa anehnya orang-orang disekitarku yang bersikap begitu normal seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Aku tidak akan memperdulikan apa-apa, selama ia ada disisiku.

Aku bersumpah pada surga untuk memastikan bahwa senyumnya tidak akan pernah meninggalkan wajahnya sekalipun.

ColorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang