XIII : Chair

34 5 2
                                    

Rabu, 20 Mei

Aku bangkit dari bangkuku dan menengok sedikit ke kanan, tidak sengaja bertemu tatap dengan Woo Hyerim yang saat itu tengah meninggalkan kelas bersama gadis-gadis lainnya. Ia memberiku senyuman sarat kekhawatiran yang kemudian kubalas dengan senyuman canggung, dimana teman-temannya memberiku tatapan aneh. Setelah memastikan bahwa mereka telah pergi meninggalkan ruangan, aku mengikuti mereka berjalan menuju jalan keluar, hanya untuk menemukan Jeon Jungkook menghalangi jalanku sembari menertawakan teman-temannya yang saling menjegal.

Salah satu temannya yang bernama Kim Taehyung melihatku dibelakangnya dan dengan tenang memberitahunya dengan mengendikkan kepalanya kearahku. Jungkook mengerti maksud dari Taehyung kemudian berbalik menghadapku. "Oh, h-hey Jinhee" ia tersenyum setelah menyapaku. "Hey.......Jeon Jungkook" Aku mencoba untuk membalas senyumannya, berharap senyumanku tidak akan secanggung senyuman yang kuberikan kepada Hyerim. Setelah beberapa detik berada dalam keheningan yang tidak mengenakkan, ia akhirnya berkata "Um.. kami akan pergi dulu kalau begitu. Sampai jumpa nanti Jinhee." dan kemudian pergi bersama 3 siswa lainnya.

Lucu, bagaimana semuanya berubah menjadi sanat canggung, sangat berbeda dari 2 bulan lalu. Jadi dia benar-benar merasa bersalah padaku.Aku mencoba membayangkan jika ia tidak menolakku dan bukannya menyadarkanku bahwa aku menyukai Jimin. Akankah kami akan berjalan menuju cafeteria bersama sekarang?

Aku merasa sesak akan semua kenangan yang tiba-tiba membanjiri kepalaku. Kini aku tersadar bahwa sebenarnya aku tidak lagi lapar. Kubatalkan niatku untuk pergi ke cafeteria dan kembali duduk di bangkuku sebagai gantinya. Aku melipat lenganku di atas meja, kuhela nafas panjang.

Aku sudah lelah menangis..

Kuletakkan kepalaku diatas lenganku yang terlipat.

Bersamaan dengan kulayangkan pandanganku keluar jendela, kubuka kembali jendela menuju kenangan-kenanganku.

Kupejamkan mataku perlahan, membiarkan kenangan-kenangan membawaku pergi kembali pada hari Senin, 16 Maret.

Setelah selesai mengingat kembali kenangan pada hari Senin itu, kuperintahkan pikiranku untuk berhenti memikirkannya akan tetapi mereka tidak ingin memenuhi permintaanku. Aku tahu bahwa hal ini tidak akan membuatku merasa lebih baik, tetapi kenangan-kenangan yang selama ini berusaha untuk kubenamkan mengamuk seperti tsunami. Menjalar kemana-mana, bahkan hingga kenangan masa kecil dimana kami selalu menghabiskan waktu bersama; aku dan Jimin. Kukepalkan tanganku diatas meja disaat pikiranku mulai mengacau.

Hari ini menandai genap dua bulan kematian Park Jimin.

"Jinhee," seorang lelaki memanggilku dari ambang pintu kelas.

Aku mendongak dan mendapati Jin oppa berdiri disana tanpa setelan seragamnya, bagaimanapun ia telah terbebas dari seragam itu. Saat aku tidak muncul di sekolah selama beberapa hari, aku dan teman-teman telah naik ke tingkat yang lebih tinggi, dimana Jin oppa akhirnya lulus dari sekolah ini. Ia menghampiri bangkuku dan mengambil kursi dari bangku sebelahku, menariknya lebih dekat denganku. Deritan antara kaki kursi dan lantai terdengar menyakitkan.

"Aku menunggumu di cafeteria namun kau tidak muncul. Aku bahkan membawakan biscuit buatanku untukmu." Katanya sembari sedikit mengernyit.

Melihat posisi dudukku dan tanganku yang mengepal, kedua matanya membesar tiba-tiba; seperti baru menyadari sesuatu.

"H-hei, Lee Jinhee. Apakah aku baik-baik saja?"

Kuperbaiki posturku dan kutegakkan punggungku.

"Aku baik-baik saja," Kulonggarkan kepalanku dan kuturunkan dari atas meja, diatas pangkuanku. "Aku hanya tidak ingin pergi ke cafeteria saja. Mungkin karena aku makan terlalu banyak pagi ini." Kucoba untuk memalsukan sebuah senyum.

"Kau yakin?" Tanyanya. Aku hanya mengangguk.

"Apa yang kau lakukan disini, oppa? Bukankah kau sudah lulus?"

Ia menertawai pertanyaanku. "Aku datang kemari karena aku mengkhawatirkan adik kecilku yang nakal, jika kau bertemu dengannya, tolong katakan hal ini padanya. Namanya Lee Jinhee."

Aku tertawa kecil. "Yah, anak bernama Lee Jinhee itu mengatakan padaku bahwa ia baik-baik saja, ia juga mengatakan bahwa Jin oppa-nya harus segera pergi dari sekolah sebelum paman penjaga mengusirnya."

Ia memukul kepalaku pelan "Anak ini benar-benar.. Alumni disambut dengan baik disini, kau tahu! Apalagi kalau dia sangat tampan seperti ini dan masih menjadi bagian dari Bangtan Sonyeondan." Ia berhenti sejenak, "Ya, selama aku tidak menganggu aktivitas belajar,"

"Aku tahu, aku tahu!" Aku menyeringai kecil.

"Baiklah kalau begitu, bisakah aku kembali ke cafeteria? Sebenarnya aku sangat lapar" empat kata terakhirnya lebih terdengar seperti gumaman.

Aku tertawa. "Tentu saja, pergilah. Perut malangmu membutuhkan perhatianmu. Maaf karena membuatmu khawatir akan keadaanku."

Ia berdiri dari tempat duduknya dan mengembalikan kursi tersebut ke posisi semula. Lagi-lagi, kursi itu kembali bederit, membuatku sedikit ngilu. "Sampai jumpa nanti, Jinhee!" Ia berjalan menuju pintu.

Tiba di ambang pintu yang terbuka, ia tiba-tiba berhenti dan berbalik.

"Kau tahu.. Jika kau ingin bicara, tentang apapun itu.. Kau bisa berbicara padaku."

Ia melontarkan senyumannya padaku dan kemudian meninggalkanku setelah menerima senyum balasanku. Aku merasa bersalah pada Bangtan. Aku merasa lebih seperti beban bagi mereka dan yang kulakukan disini hanyalah membuat mereka khawatir dan bersalah padaku.

Kembali sendirian di dalam kelas, aku mengambil buku sketsaku dan berniat untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh Tuan Jang pada hari Senin lalu. Bau kertas bertekstur berwarna coklat dari buku sketsa memberikan efek menenangkan pada pikiranku. Aku membalik-balikkan halaman sketsa dan pada akhirnya menemukan sketsanya yang telah aku kerjakan. Beliau memberikan tugas pada kami untuk membuat karya tentang bunga dalam bentuk apapun, tidak hanya itu, beliau juga memberitahukan pada kami jika bunga tersebut harus memiliki cerita dibaliknya. Aku memilih bunga lily.

"Karena bunga sering dikaitkan dengan upacara pemakaman, bunga lily itu sendiri memberikan simbol bahwa jiwa yang pergi meninggalkan dunia telah menerima kembali kesuciannya setelah kematian." Itulah yang kubaca dari suatu sumber.

Kukeluarkan kotak pensil warnaku. 48 totalnya. Seolah mempunyai nyawa, tanganku bergerak menuju pensil berwarna hitam. Ku keluarkan dari kotaknya dan kupegang erat diantara jemariku. Kupandangi sketsaku. Bunga lily itu terlihat kesepian, namun memakan cukup banyak tempat. Aku mulai menggoreskan pensil warna hitam itu, mewarnai seluruh latar belakangnya. Tak lama kemudian, warna hitam menutupi seluruh bagian latar belakangnya, dengan sedikit goresan berwarna merah disana-sini. Kembali kulanjutkan dengan mewarnai kelopak bunga lily itu dengan warna putih, namun hanya beberapa goresan yang sempat kulakukan saat ujung lancipnya patah.

Kuhela nafas panjang., niatku untuk melanjutkan pekerjaanku menghilang begitu saja. Mataku terasa berat. Kumasukkan kembali pensil warnaku kedalam kotaknya dan mendorong sketsaku menjauh ke tepi meja. Kembali ke posisiku semula, menyilangkan lenganku di atas meja dan kuletakkan kepalaku di atas lenganku. Aku menutup mataku, mencoba untuk tidur. Dapat kurasakan kesadaranku yang perlahan melayang pergi, akan tetapi hal itu hanya berlangsung sebentar saja dimana kemudian deritan yang terdengar cukup tajam membangunkanku. Aku langsung mengenali suara itu, lagi-lagi, suara deritan kursi.

Ya Tuhan, bisakah orang-orang membiarkanku beristirahat dan berhenti menarik kursi mereka.

Aku membuka mataku yang masih berat dan menatap orang didepanku. Seseorang telah menarik kursi dari bangku di depanku dan menariknya mendekati mejaku sebelum akhirnya duduk menghadapku, dengan kursi yang masih menghadap ke depan.

"Heiii... Benar-benar gambaran yang jelek." Ia mengejek sambil tertawa geli, senyum serta mata yang membentuk bulan sabit itu terlihat terlalu familiar.

ColorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang