XVII : Lucky

20 3 0
                                    

Aku berjalan menaiki tangga menuju lantai dua kediaman keluarga Park tanpa suara. Lantai dua terlihat begitu tenang dengan lampu yang masih padam. Setelah beberapa langkah, disinilah aku, di depan kamar Jimin. Kupegang gagang pintu kamar Jimin yang terasa dingin dan berembun. Aku teringat akan kejadian terakhir kali aku membuka pintu kamarnya. Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat, mencoba untuk menghilangkan ingatan itu.

Tidak, hal itu tidak akan terjadi lagi. Jimin sendiri yang mengatakan bahwa aku harus membangunkannya pagi ini, bukan?

Aku menghela nafas panjang dan mendorong pintu kamarnya terbuka. Gelap, seperti hari itu.

"Jimin?"

Tidak ada jawaban, seperti hari itu.

Aku berjalan menuju ranjang. Jimin tidak ada disana, seperti hari itu.

Lampu kamar mandi menyala, seperti hari itu.

Aku bisa mendengar suara air mengalir. Lututku melemas dan jantungku berdegup sangat kencang, menyakitiku. Tiba-tiba air dari kamar mandi merembes keluar, membasahi lantai kamar.

"Oh tidak, tolong jangan.." aku menggenggam rambutku, serasa ingin menariknya dari kepalaku.

Tapi kakiku seolah bergerak dengan sendirinya mendekati kamar mandi, tanganku bergerak diluar kemauanku, membuka pintu kamar mandi.

Disanalah ia, pucat tak bernyawa seperti hari itu.

"JIMIN!!!" teriakku

-

"Apa?"

Aku terkejut, kubuka mataku tiba-tiba. Wajahnya begitu dekat denganku, matanya menunjukkan betapa cemasnya ia.

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, baru saja kusadari bahwa aku terduduk diatas ranjangku. Nafasku tersengal dan kepalaku pusing tidak karuan. Jimin berdiri di sebelah ranjangku, mencondongkan tubuhnya di atasku.

Terima kasih Tuhan, aku hanya bermimpi.

"Ada apa, Jinhee?" Ia memegang bahuku dengan lembut. Aku mencoba untuk mengatur nafasku sebelum menjawabnya.

"T-tidak ada," aku berdeham "Hanya... mimpi. Ya, mimpi buruk."

"Tapi kau memanggil namaku.." Ia bergerak mundur dan menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

"Apakah aku di culik oleh sekawanan lemur lagi, seperti yang pernah kau mimpikan?"

Aku tergelak "Tidak, bodoh."

"Lalu apa?"

Aku mengalihkan pandanganku. Aku tidak ingin membicarakan hal itu, apalagi kepadanya. Tapi ekspresinya menunjukkan bahwa ia masih mengharapkan jawaban dariku, jadi aku mencoba untuk mengada-ada.

"Kau.." aku berhenti sejenak, "Menikah dengan Jungkook."

Omong kosong macam apa lagi yang baru saja kukatakan.

Ia tertawa dengan keras, "Jadi kau cemburu, ya?"

Pertanyaannya membuat pipiku memerah.

Dia tahu?

"T-tidak!" wajahku memerah.

"Tenang Jinhee, Jungkook adalah milikmu."

Setelah kusadari bahwa ia membicarakan Jungkook, pipiku tidak lagi memerah dan ekspresiku berubah. Ya, sepertinya ia tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Jungkook malam itu. Aku menghembuskan nafas lega, beruntung ia tidak menyadarinya.

"Terserah." Aku mengusap mataku, "Lagipula apa yang kau lakukan disini?"

"Kau tidak datang, jadi Ibu membangunkanku. Kuputuskan untuk datang untuk ganti membangunkanmu."

ColorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang