XVI : How Things Were

17 3 0
                                    

"Selamat malam, Paman" Aku membungkuk hormat kepada Tuan Park dengan canggung.

"Wah, bukankah ini Jinhee? Lama tidak jumpa... Kau sudah tumbuh besar." Tuan Park memberikan senyuman hangat pada kami.

"Ayaaaah!" Jisang berlari turun dari tangga dan menyambut ayahnya dengan sebuah pelukan.

"Hai Ayah," ucap Jimin, tersenyum sekilas.

"Hai anak-anak. Sekarang, duduklah kalian semua, dan habiskan soondae yang Ayah belikan," Beliau melambai, mengundang kami untuk duduk.

Kami berjalan mendekati meja lalu duduk dan menghabiskan soondae itu. Jimin dan Jisang bercakap-cakap dengan Tuan Park, bercanda dan tertawa bersama. Nyonya Park datang saat kami tengah menikmati makanan kami. Kami menyambutnya dan Nyonya Park segera bergabung dengan kami tanpa merasa kesulitan untuk ikut masuk dalam percakapan. Tuan dan Nyonya Park terlihat manis dan damai, tidak seperti hubungan mereka terakhir di ingatanku. Apakah mereka sudah berbaikan? Pikirku. Memandang keluarga yang terlihat begitu damai didepanku membuat hatiku menghangat. Aku senang Jimin tidak akan pernah menghadapi situasi keluarga yang buruk seperti dulu lagi.

Aku terlalu terbuai oleh kehangatan yang terpancar dari keluarga Park hingga aku tidak menyadari bahwa waktu terus berlalu. Kulirik jam yang tergantung di dinding, pukul 9 malam. Aku ingin terus bersama mereka, aku takut jika aku meninggalkan mereka hari ini, semuanya akan berubah kacau kembali di esok hari. Aku tidak ingin mereka kehilangan kebahagiaan mereka, aku tidak ingin Jimin menghilang, tapi orang tuaku akan mengkhawatirkanku jika aku tidak pulang. Aku sudah cukup membuat mereka cemas dan aku tidak ingin menambah kecemasan mereka.

"Terima kasih makanannya, Bibi, Paman. Kupikir ini sudah terlalu larut untuk tetap tinggal, aku harus pulang sekarang," aku berdiri dan membungkukkan salam kepada mereka.

"Kalau begitu aku akan mengantarkan Jinhee pulang," Jimin juga beranjak dari kursinya.

"Baiklah, Sayang. Sampaikan juga salam kami pada orang tuamu." Kata Nyonya Park.

Kami pamit sekali lagi kepada mereka dan kulambaikan tanganku pada Jisang. Segera setelah kami menginjakkan kaki keluar dari rumah Jimin, angin malam yang dingin menyambut kami.

"Wah, malam masih saja tetap dingin," Aku menggembungkan pipiku dan memeluk diriku sendiri.

"Mendekatlah, kau tau betapa hangatnya aku." Jimin mengedipkan sebelah kelopak matanya dengan nakal.

"Dalam mimpimu, Park Jimin," aku memberikan ekspresi jijik padanya.

"Rasakan kehangatannya!" Jimin melingkarkan lengannya di bahuku dan menarikku lebih dekat padanya. Kurasakan pipiku memanas dan dadaku berdebar lebih cepat karena kontak tubuh yang terlalu tiba-tiba itu.

"Lihat lihat, pipimu bahkan memerah karena aku terlalu hangat." Jimin menyentuh pipiku dengan jari telunjuknya.

"Kau salah! Lagipula, ini gelap, bagaimana kau tahu jika pipiku memerah atau tidak?" aku melepaskan diriku dari cengkeramannya.

Pipiku semakin memanas dan jantungku berdetak semakin cepat, hingga kupikir Jimin dapat mendengarnya. Lucu sekali bahwa aku masih merasakan perasaan ini meskipun ia telah pergi selama dua bulan, bagaimana bisa aku masih bisa merasakan perasaan ini disaat aku tidak yakin apakah ia nyata atau tidak.

Aku membeku saat teringat bahwa ia pernah pergi meninggalkan dunia ini. Aku berhenti berjalan. Jimin masih berjalan sebelum akhirnya berhenti setelah menyadari bahwa aku tertinggal dibelakangnya.

"Ada apa?" Ia berbalik untuk menatapku. Matanya sedikit membesar karena bingung. Ia terlihat akan berjalan ke arahku namun aku berhasil menghentikannya.

ColorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang