XVIII : Puns

18 4 2
                                    

Seorang junior tertawa mengejek saat berjalan melewati kami.

"Hei hei! Apa yang kau tertawakan?" sembur Jimin, menatapnya dengan tatapan mematikan.

"T-tidak ada.. maafkan aku, sunbaenim!" ia tergagap dan membungkuk meminta maaf kepada kami sebelum akhirnya berlari kembali ke ruang kelasnya. Saat kami yakin ia tidak dapat mendengar kami, kami menertawakan apa yang baru saja terjadi.

"Kau tidak perlu menakuti anak malang itu," aku terkekeh.

"Anak nakal itu pantas mendapatkannya," Jimin juga ikut tertawa "apa kau melihat ekspresinya tadi?"

Nyonya Oh menyuruh kami untuk berdiri di atas satu kaki di koridor sembari meletakkan buku paket matematika kami di atas kepala tanpa membuatnya terjatuh.

"Ya Tuhan, kakiku sakit sekali," ujarku saat mulai kurasakan rasa sakit karena pegal merambati paha kananku.

"Apa kau baik-baik saja, Jimin?" tanyaku untuk yang kesekian kalinya.

"Aku sudah mengatakannya padamu, aku baik-baik saja, sayang."

Perutku terasa geli mendengar kata "sayang" darinya meskipun kami telah menggunakan panggilan itu sejak dulu kala.

"Jangan pernah berani membohongiku," aku menghentikan perkataanku sebentar "s-sayang."

Hanya seperti itu, namun aku merasakan suatu perasaan seperti saat aku berhasil melakukan suatu hal yang besar, semua itu hanya dengan mengucapkan kata terakhir itu.

Seorang junior, kali ini perempuan, berjalan melewati kami. Ia menggigit bibir bawahnya dan mengalihkan pandangannya dari kami, segala usaha ia lakukan untuk menahan tawanya. Setidaknya ia sudah berusaha.

Jimin menggerutu "Cukup, aku sudah bosan dengan ini semua."

Tubuhnya baik-baik saja, namun sepertinya harga dirinya tidak bisa disakiti lebih banyak lagi. Ia masih akan menurunkan kakinya saat aku berusaha untuk menghentikannya.

"Jangan!"

"Kenapa?" Ia menarik kembali kakinya yang hampir saja menyentuh lantai.

"Nenek sihir itu juga mengecek CCTV."

"Benarkah?"

"Iya, tidakkah kau ingat saat beliau memanggil Minjae karena tidak melakukan 'postur hukuman' dengan baik, dan membuatnya melakukannya sekali lagi di depan ruang kelas?"

"Kwak Minjae?" Aku mengangguk, ia melanjutkan "Aku tidak ingat..."

"Tapi itu baru kemarin Sela--"

Oh iya, ia tidak disini Selasa lalu.

"Oh, lupakan.."

Ia tidak menjawab lagi. Suasana berubah menjadi canggung. Aku diam-diam menyalahkan kehebatanku dalam mengubah segala suasana menjadi sangat canggung setiap saat.

Tapi kemudian pikiranku melayang ke suatu tempat.

Ia tidak disini Selasa lalu?

Aku berpikir apa benar dia yang datang kembali kemari. Tapi mengapa semuanya bersikap normal saja tentang hal ini? Seperti tidak pernah terjadi apa-apa kepada Jimin.

Seperti ia tidak pernah... mati.

Apakah aku yang gila karena telah berhalusinasi akan kematiannya saat sebenarnya ia baik-baik saja dan tetap hidup selama ini?

Apakah aku yang terlalu terbawa oleh realita buatan yang mungkin terjadi jika ia tidak pernah bunuh diri?

Okay, mungkin aku terlalu banyak melahap karya science-fiction. Tapi kemudian "Teruslah merasa bersalah hingga terbukti ketidakbersalahanmu,"

ColorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang