XXIV : The Call

34 2 0
                                    

"Kau gila," ucap Jimin segera setelah mata kami menangkap jalur-jalur menakutkan roller coaster dan teriakan histeris yang mulai terdengar.

"Kau berani menaiki itu untuk atraksi pertama?" Aku menanyainya, sedikit menggodanya, aku tahu ia tidak bisa menaiki atraksi seperti itu.

Jimin memberikan tatapan sinis bersamaan dengan ekspresinya yang berubah kecut, namun beberapa saat kemudian ia menyeringai saat suatu pikiran melintas di benaknya, "Bagaimana kalau..."

"Rumah hantu?"

Mataku membesar dan aku mulai memikirkan cara bagaimana menjawabnya agar kami tidak harus masuk ke rumah hantu.

"Hm.." aku menggumam sebentar sebelum menyeringai dan berkata.

"Hei, teman. Aku hanya bercanda! Sekarang bagaimana kalau kita naik komidi putar saja?" aku memukul lengannya pelan.

Ia ikut menyeringai juga, "Heiii... tentu saja teman! Mari jangan menjatuhkan satu sama lain dan bersenang-sennag bersama, bagaimana?" Ia berdiri di belakangku dan mulai mendorong bahuku, berjalan menuju komidi putar. Aku tertawa kecil.

Benar-benar pengecut, kami itu.

Membutuhan waktu untuk berjalan diantara kerumunan sebelum akhirnya kami tiba di komidi putar. Lampu-lampu berwarna kuning berkerlap-kerlip mengikuti irama musik. Jimin berdiri di sebelahku saat kami mulai mengantre. Aku melihat ke sekeliling dan baru saja menyadari bahwa kami berada di tengah anak-anak kecil. Ada juga keluarga muda dengan anak-anak mereka. Aku melihat seorang anak dengan pipi yang gembul memegang dua jeruji pagar dengan kedua tangan kecilnya. Rautnya terlihat bosan karena sepertinya ia sudah menunggu cukup lama, namun ekspresinya yang datar dan pipinya yang tergencet oleh dua jerusi pagar itu membuatnya terlihat seperti tupai yang tengah mengunyah kenari dengan makanan yang memenuhi kedua pipinya, membuatnya terlihat lucu.

"Jiminnie," aku menyenggol Jimin dengan sikuku.

"Apa?"

"Aku menemukan kembaranmu." Aku mencoba untuk menahan tawaku.

"Dimana? Wonbin sunbaenim disini?"

"Ya, dan ia ada disana!" Aku menunjuk anak kecil tadi.

"Benarkah? Dima-" pancaran di matanya meredup. Aku mulai tertawa melihat responnya. Ia memandangku dengan tatapan sebal, namun kemudian ia menggembungkan kedua pipinya.

"Jiminnie lucu kan? Noona menyayangiku kan?" katanya, dicondongkannya tubuhnya kearahku.

Aku yang terlalu sibuk tertawa tidak menyadari wajahnya yang semakin mendekat.

Mata kami bertatapan.

Ia menghentikan aegyo-nya bersamaan denganku yang segera berhenti tertawa. Kami terdiam seperti itu untuk beberapa saat. Wajahku terasa panas dan jantungku berdetak dengan kencang.

"Hing!"Aku mendorong wajahnya dengan telapak tanganku, sedikit terlalu keras.

Beberapa saat kemudian, kecanggungan masih tergantung diantara kami. Jimin melihat-lihat kearah lain dan aku sibuk dengan jari-jariku, tengah menyumpahi diriku sendiri karena aku tidak tahu juga untuk apa "Hing" tadi. Aku ingin melemparkan diriku ke tempat sampah di sisi jalan.

Saat petugas mengumumkan bahwa kami adalah orang selanjutnya, aku merasa sangat berterima kasih karena ia sudah memecahkan keheningan diantara kami.

-

Kami sudah berputar beberapa kali dan tawa hanyalah satu-satunya yang menemani saat kami turun dari kuda masing-masing.

"Jadi mau naik apa lagi Nona Kecil Jinhee ini?" Tanya Jimin.

ColorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang