"Itu sudah hilang.." ia tersenyum, "Hilang dan tidak akan pernah kembali lagi.."
"Benarkah? Tapi... Tapi kupikir mereka mengatakan kalau tidak ada obat untuk itu?"
"Hilang bukan karena berhasil disembuhkan."
"Aku tidak.. Aku tidak mengerti.."
"Apa kau pernah percaya pada.." ia menatap jauh awan di langit, "keajaiban?"
"Kau tahu, beberapa hal mungkin terlihat tidak mungkin saat mereka sebenarnya bisa saja terjadi."
Seperti saat kau berada disini padahal aku jelas mengingat bahwa kau sudah pergi jauh selama dua bulan?
Aku terdiam dan merenung. Teringat akan masa lalu, dadaku terasa ditusuk-tusuk dan mataku terasa terbakar. Butuh kekuatan yang besar untuk berkata-kata dengan tenggorokanku yang kini tercekat.
"Dari apa yang sudah aku alami selama ini," Aku berdeham, "Kupikir aku tidak punya pilihan lain selain percapa pada keajaiban.." kuakhiri kalimatku dengan tawa kecil.
Aku melirik Jimin, yang masih tetap diam. Sepertinya ia ingin membicarakan sesuatu, mengeluarkan segalanya yang ia simpan selama ini di dadanya, namun kemudian ia mengurungkan niatnya dan memilih untuk menyimpannya sendiri. Apakah ia ingin membicarakan tentang kembalinya dirinya? Tapi kemudian jika ia memutuskan untuk menyimpannya sendiri, mungkin itu berarti ia tidak merasa cukup nyaman untuk membicarakannya.
Ini semua terasa seperti kehidupan tengah memberikannya kesempatan kedua. Orang tuanya kembali bersama, masalah keuangan telah teratasi, kesehatannya telah kembali, dan kesempatan untuk meraih mimpinya datang kembali. Ini semua terasa seperti kehidupan tengah memberikannya kesempatan untuk menjadi bahagia, dan aku tidak ingin merusaknya dengan mengingatkannya akan masa lalunya yag tidak bisa dikatakan cukup indah.
"Oh iya," katanya tiba-tiba.
"Kau bersikap seolah-olah aku masih sakit. Bukankah sudah kukatakan padamu kalau aku tidak suka kau memperlakukanku seolah aku lemah dan sakit?" ia berhenti sejenak. "Bersikaplah biasa saja, dan pukul aku."
Mataku membesar.
"Uh.. Maksudku, kau bisa memukulku jika kau mau."
Aku menertawainya, "Benar-benar masokis." Kataku sambil memukul lengannya.
Aku sedikit tertegun akan apa yang baru saja aku lakukan, namun kemudian ia tersenyum. Senyuman yang begitu hangat hingga aku tidak dapat menahan diriku untuk tersenyum kembali. Kemudian kurasakan dorongan untuk memeluknya, yang kemudian aku lakukan.
"Jiminnie... Selamat." Aku memeluknya erat, "Aku akan selalu bersamamu. Jangan mengkhawatirkan apa-apa dan kejarlah impianmu."
Ia terdiam dan mengeratkan pelukannya saat aku menutup mataku. Kami tetap berada di posisi itu selama beberapa saat. Pelukan itu terasa hangat dan menenangkan. Terasa seperti aku memang seharusnya berada di sana. Namun kemudian ia melepaskan pelukannya dariku lalu memegang bahuku. Aku dapat melihat sesuatu yang terpancar dari matanya, yang kutahu itu bukan kebahagiaan atau kepastian.
Aku ingin bertanya mengapa, aku ingin ia memberitahuku semuanya, Aku ingin bisa membantu. Tapi kemudian berpura-pura bodoh demi untuk tidak merusak momen kami, selalu menjadi pilihan terbaik.
Ia menghela nafas panjang kemudian melingkarkan lengannya di bahuku, "Ayo kita kembali sekarang, teman-teman pasti akan mengkhawatirkan kita jika kita terlalu lama!"
-
"Aku bersumpah kalian akan mati jika kalian tidak menyimpan rahasia ini baik-baik!" Aku mengancam mereka yang masih terus tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colors
Fanfiction"Diantara 7 juta warna yang dapat dilihat oleh mata manusia, dan 48 pensil warna milikmu yang dapat kau gunakan, mengapa kau hanya menggunakan warna hitam, putih, dan merah?" Aku menunduk, mencoba untuk memikirkan jawaban yang tepat Entahlah, mungki...