XV : Blood Sausages

24 4 2
                                    

Bel pulang baru saja berbunyi. Aku menatap seseorang yang duduk tepat di hadapanku, memunggungiku.

Empat jam telah berlalu,

Empat jam dan dua belas menit lebih tepatnya. Namun Jimin masih disini bersamaku.

Aku masih sedikit terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Masih ada ketakutan yang menggangguku dari dalam diriku. Takut jika ini semua hanya mimpi, takut jika ini semua hanyalah halusinasiku, takut bahwa sekali lagi Jimin akan menghilang dari hadapanku.

"Jinhee, tolong bantu aku mengerjakan tugas Kimia, ya?" Ia berbalik menghadapku.

"Huh?" Aku tersadar dari pikiranku dan mencoba untuk menangkap kata-katanya.

"A-aku kan tidak bisa Kimia.." lanjutku.

"Aku juga. Tapi bersama, kita pasti bisa," katanya, tersenyum lebar.

Aku tertawa, ia membuatku menyadari betapa rindunya aku padanya, melebihi dari apa yang kukira.

"Dasar."

Aku mengulurkan tanganku untuk mendorong dahinya dengan jariku. Akan tetapi tanganku terhenti.

Aku tidak ingin menyakitinya dengan cara apapun.

Ia menatap tanganku, yang kemudian kutarik kembali dengan canggung. Ia terlihat akan mengatakan sesuatu namun aku lebih cepat dengan berbicara lebih dulu.

"Di rumahku?"

"Hmm.." gumamnya, "Bagaimana kalau di rumahku?"

Aku mengerjapkan mataku. Ia jarang sekali memintaku untuk datang ke rumahnya, kecuali di pagi hari. Meskipun ia sangat-sangat menyayangi ibu dan adik laki-lakinya, ia tidak suka berada di rumah.

"Jinhee?" ia mencondongkan tubuhnya ke depan. Wajahnya semakin mendekati wajahku.

"Y-ya, tentu saja." Aku beringsut mundur.

Kami memasukkan barang-barang kami dan pergi meninggalkan kelas. Segerombolan siswa juga tengah terlihat meninggalkan gedung sekolah. Aku tersenyum tanpa sadar pada saat yang bersamaan dengan kaki kami yang menginjak lapangan sekolah.

Sudah dua bulan ya, Park Jimin?

"Jika kau tidak ingin aku memanggilmu gila, kau benar-benar harus berhenti menatap tanah dan tersenyum tanpa ada alasan yang jelas."

Aku tertawa dan mendongakkan kepalaku. Musim semi hampir berlalu dan udara mulai terasa panas. Kami berjalan menyusuri jalan-jalan yang biasa kami lewati bersama, bersisian memadukan langkah. Tangan kami bersenggolan beberapa kali. Jimin memainkan gurauan "tok tok"-nya setiap kali tangan kami bersentuhan dan aku menertawakannya. Semuanya terasa begitu benar dan salah pada saat yang bersamaan.

Pada akhirnya, kami tiba di depan rumahnya. Aku menatap bangunan di hadapanku. Aku belum pernah kemari lagi sejak hari itu dan belum bertemu dengan Nyonya Park dan adik laki-laki Jimin sejak upacara pemakaman. Aku menghirup aroma khas rumahnya saat kami berjalan masuk. Baru kusadari bahwa aku juga merindukan rumah dan keluarganya. Adik laki-lakinya tiba-tiba muncul dari dapur dengan sekantung keripik ditangannya.

"Hyung, kau pulang!"

"Ya Jisang dan aku juga mengajak serta Bibi Jinhee kemari." Ia tergelak dan memberikan sepasang sandal rumah kepadaku.

Aku berniat untuk memukulnya. Namun saat aku melihat senyumnya, aku menahan niatanku. Senyumnya yang berbicara lebih keras daripada kata-kata, mengingatkanku akan rasa sakit yang ia rasakan dan seberapa lemahnya ia. Aku tidak boleh menambah rasa sakitnya.

ColorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang