Hanya butuh kurang dari satu menit bagi Jimin untuk memasukkan semua buku-bukunya ke dalam loker dan menutupnya. Ia kemudian berderap kearahku, yang tengah memasukkan buku-buku ke dalam loker dengan rapi. Ia bersandar pada pintu lokerku yang terbuka dan memperhatikan apa yang aku lakukan. Salah satu sudut bibirnya terangkat saat ia melihat sebuah foto yang kami ambil bersama sekitar 2 tahun lalu.
"Kau masih menyimpan foto itu?"
Aku berhenti menata lokerku dan melihat foto yang ia maksud. Kami terlihat lebih muda dengan kedua belah pipi yang terlihat sangat berisi, apalagi Jimin. Kami terlihat bahagia memegang satu cone es krim yoghurt meskipun salju terlihat memenuhi background-nya. Aku ingat bahwa foto itu kami ambil saat kami mendaki gunung saat rekreasi.
"Tentu saja. Bagaimana bisa aku menghilangkan foto yang sangat berharga ini; foto saat Park Jimin masih terlihat sangat gembul?" jawabku sembari meletakkan buku terakhir ke dalam lokerku. Aku menutup pintu loker, kemudian mengayunkan tali ransel ke bahuku.
"Hah, sayang sekali mereka sudah pergi. Sekarang yang bisa kau lihat hanyalah tulang rahang bawahku yang terlihat seksi. Maksudku.. lihatlah aku. Aku bahkan terlihat sangat hot hingga berasap." Ia mengangkat alis sebelah kirinya dan mencoba membuat ekspresi yang seksi.
"Kau merokok?" terdengar suara yang begitu dalam dari belakang kami, terdengar terkejut.
Kami menoleh dan mendapati Namjoon berdiri disana bersama dengan Kepala Sekolah. Aku yakin yang tadi bukan Namjoon-lah yang bertanya. Aku yakin bahwa Kepala Sekolah salah mengartikan percakapan kami.
"T-tidak Tuan! Bukan itu yang kami maksud!" Jimin membungkuk meminta maaf dengan panik. Aku tetap diam ssaat kemudian Jimin mendorong punggungku agar ikut membungkuk.
"Apakah yang dikatakan Park Jimin itu benar, Lee Jinhee?" Tanya Kepala Sekolah kepadaku.
"I-iya Tuan," aku tergagap "kami membicarakan hal lain.." Namjoon menatap kami dan Kepala Sekolah bergantian, mencoba untuk menangkap apa yang sedang kami bicarakan.
"Yang tak lain adalah?"
Dengan memberikan isyarat melalui mataku, aku bertanya pada Jimin apa yang harus aku jawab, namun ia memberikan isyarat bahwa ia tidak tahu harus menjawab apa bahkan menyuruhku untuk segera memberikan jawaban kepada Kepala Sekolah.
"Kami... kami tengah membicarakan betapa seksinya Jimin, Tuan!"
Aku bisa merasakan diriku begitu malu hingga aku ingin merangkak pergi dari sini. Kepala Sekolah masih terdiam dengan tatapan bingung. Aku tahu Jimin tengah berkeringat dingin. Yah, aku bukan wanita yang cerdas. Tapi kemudian, Kepala Sekolah berkata.
"Baiklah kalau begitu. Jangan sampai terlibat dalam hal-hal buruk seperti merokok," katanya tegas "Ingatlah bahwa masing-masing dari kalian merupakan cerminan dari sekolah kita."
"Baik Tuan!" Jimin menjawab dan membungkuk lagi, kini dengan perasaan yang cukup lega.
"Kalau begitu, saya akan pergi ke ruangan saya. Kita harus melanjutkan diskusi kita nanti, Namjoon." Beliau menepuk bahu Namjoon.
"Tentu saja Tuan, sampai bertemu lagi." Namjoon menjawab.
"Dan pastikan bahwa Bangtan Boys-mu tidak membawa reputasi buruk bagi sekolah kita." Beliau menatap Jimin, yang menelan ludah dengan gugup, kemudian beliau meninggalkan kami bertiga berdiri di tengah koridor. Kami memberikan bungkukan terakhir.
Jimin menghela nafas panjang, tanpa sadar bahwa sedari tadi ia menahan nafasnya, Namjoon memandang kami dan menggeleng-geleng kecewa. "Kau harus tahu bahwa..." Namjoon memegang bahu Jimin dan mendecakkan lidahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colors
Fanfiction"Diantara 7 juta warna yang dapat dilihat oleh mata manusia, dan 48 pensil warna milikmu yang dapat kau gunakan, mengapa kau hanya menggunakan warna hitam, putih, dan merah?" Aku menunduk, mencoba untuk memikirkan jawaban yang tepat Entahlah, mungki...