Night 22: Koalisi

3.4K 208 14
                                    

Delisha membuang semua permen yang didapat Rani dari mantan pacar Imdad ke pembakaran sampah. "Benda itu dapat merusak gigimu!" ujarnya tajam pada gadis kecil itu. "Kau tidak mau kan kelak bersanding dengan Raj sementara gigimu ompong?" Rani sangat ketakutan membayangkan hal itu. Dia akan tampak sangat jelek nanti di foto pernikahan mereka.

Mereka duduk di tangga teras belakang rumah yang menghadap taman. Delisha menyodorkan kotak permen penyegar mulutnya pada gadis itu. Dia menggunakan permen itu jika dia habis merokok. "Sebagai gantinya makan permen ini saja" katanya "Lagipula, jika kau menerima barang dari orang yang pernah mengkhianati Raj, sama saja kau bersekongkol dengan pengkhianat itu. Tak ada pria yang suka dengan pengkhianat."

Rani menjadi semakin ketakutan. Wanita ini tidak bisa dianggap sepele. Wanita ini bisa menghancurkannya kapan saja, jadi apa yang bisa dilakukannya selain berkoalisi dengan wanita ini?

"Marianne-ji, kumohon jangan sampai Raj tahu hal ini. Aku tidak ingin ia membenciku ..." rengeknya.

Dalam hati Delisha tertawa puas. Huahaha, gadis kecil, sekarang kau tahu kau berhadapan dengan siapa. "Mulai saat ini, kau harus mematuhi semua perkataanku!" ancamnya dan gadis kecil itu menggoyangkan kepalanya pasrah.

Delisha berdiri dan membenahi pakaiannya. Menyampirkan kain saree ke bahunya dan rambutnya tergerai bebas ke udara saat dia melakukannya, menampilkan pundaknya yang terbuka dengan tali choli tersimpul manis. Dia merapikan rambutnya dengan jemarinya dan tersenyum manis pada Rani yang menatapnya penuh kekaguman.

Bukan hanya Rani yang menatap kagum pada wanita muda itu. Imdad Hussain yang melihatnya dari dalam rumah mematung di tempatnya. Jika ada pemandangan terindah selain Pegunungan Kashmir Himalaya, saat inilah adanya. Wanita dengan lekuk sempurna dalam balutan saree merah muda seindah hamparan bunga di lembah pegunungan. Bagaimana rambutnya yang tergerai indah itu melambai laksana bahan kashmir membelai jiwa perkasanya. Gemerincing gelangnya seperti untaian embun yang berjatuhan dari tepi dedaunan, membuat hatinya berdesir hangat.

"Bahut bahut hee khoobasoorat ..." very very beautiful, gumam Imdad dengan langkah tergantung di tengah ruangan menuju teras belakang. Jika dalam pakaian minim wanita ini tampak mempesona, dalam pakaian tertutup tenyata daya tariknya lebih kuat lagi. Gunung Himalaya akan bergetar hebat karenanya.

"Raj!" seru Rani girang sambil berdiri lalu bergegas berlari mendatangi Imdad dan melompat ke dekapan pria itu. Tidak biasanya Imdad pulang kerja sesore ini. Biasanya ia pulang larut malam, bahkan kadang tidak pulang.

"Raj!" sapa Delisha dengan senyum tersungging di bibirnya dan melangkah ke arah Imdad. Dia ingin sekali mengintimidasi pria ini.

Melihat senyumannya Imdad merasa debaran jantungnya makin kuat. Wanita ini menyambut kedatangannya sedemikian rupa seakan ia telah tiba di rumah idamannya. Untungnya Rani dalam gendongannya, jika tidak, ia bakalan mendekap wanita ini dan membopongnya ke kamarnya.

"Tuan Vijay tidak datang. Ia bahkan tak bisa dihubungi. Jadi, Raj, bagaimana ini?" tanya Delisha. Dia melebarkan kain saree yang dikenakannya dan memutar-mutar tubuhnya di depan Imdad "Pakaian ini sangat indah, tapi aku sukar bergerak dan terus terang saja, bahannya agak panas dan membuat kulitku gatal." Dia meliukkan tubuhnya dan menggaruk bagian pundaknya yang terdapat ikatan choli.

Imdad hampir saja berkata padanya untuk melepaskan seluruh pakaian saat itu juga, tetapi ada Rani bersamanya, ia harus mengatup mulutnya rapat-rapat. Anak kecil tidak boleh mendengar perkataan semacam itu.

"Oh, hmm ... ya, aku juga berusaha menghubunginya, makanya aku pulang membawa mobil perusahaan. Kurasa kita harus mendatangi ke rumahnya. Tak biasanya Vijay begini." Ujar Imdad dengan tenggorokan serak.

Delisha terdiam sesaat, lalu menyutujui rencana Imdad. Mereka berdua lalu menuju mobil SUV hitam di halaman depan. Mereka duduk bersisian di kursi depan. Delisha membenahi saree di pundaknya lagi karena choli yang dikenakannya menampilkan area leher dan sebagian dadanya, dia agak risih jadinya.

Imdad melirik dan melihat kissmark yang dibuatnya masih tampak jelas di lekukan leher Delisha. Ia mencari sesuatu dalam laci dashboardnya. "Sini, kenakan ini" ujarnya sambil bergerak hendak merangkul Delisha, membuat tubuh Delisha kaku di tempat. Imdad memasang peniti untuk mengaitkan saree di pundak Delisha ke bagian belakang cholinya. "Kalau begini sareenya tidak akan jatuh lagi" gumam Imdad sambil menegakkan tubuhnya lalu menghadap lurus ke depan mobil, menahan dirinya agar tidak menoleh pada wanita di sampingnya, karena wajah mereka sama-sama bersemu merah.

Bertahanlah, Imdad, ia bergumam sendiri dalam hati. Ia bergegas menjalankan mobil dan fokus pada tujuan mereka yaitu ke apartemen Vijay, mencegahnya memikirkan hal lain, seperti menepikan mobil lalu bercumbu dengan wanita di sebelahnya. Mungkin mereka tidak akan pernah mencapai kediaman Vijay jika benar-benar melakukan hal itu.

Delisha teringat makhluk hitam kehijauan yang menyerangnya. Rasa cemas mulai menghantuinya. Apa terjadi sesuatu pada Tuan Vijay? Dia berharap tidak demikian. Tiba di Parnapuri, Delisha melihat hantu wanita bergaun putih tulang berdiri menyedihkan di depan sebuah pintu yang mungkin kediamannya sewaktu dia hidup. Hantu wanita itu hanya meliriknya lalu kembali bergumam sendiri soal anaknya yang tidak pulang-pulang. Delisha menyayangkan kacamata hitamnya tak ada padanya.

Imdad mengetuk pintu apartemen Vijay beberapa kali tetapi tidak ada jawaban. Ia lalu menelpon nomor pria itu, namun sedang tidak aktif. "Kemana Vijay ini sebenarnya?" gumam Imdad cemas. Keningnya berkerut dalam dan lengan bertumpu ke dinding sambil memikirkan berbagai kemungkinan.

Delisha pura-pura menelpon dan berdiri dekat hantu wanita bergaun putih tulang tadi. "Lakukan sesuatu untukku, maka aku akan berusaha mencari informasi soal anakmu."

Hantu wanita itu mengangkat wajah padanya. "Lihat ke dalam apartemen Vijay Sharma!" kata Delisha padanya dan sekejap dia menghilang beberapa detik, lalu muncul lagi di hadapan Delisha. "Ia sekarat" dia memberitahukan apa yang dilihatnya. Delisha terkesiap dan bergegas mendekati Imdad.

"Telpon ambulans dan buka pintu ini secepatnya!" seru Delisha panik. Imdad agak terkejut mendengarnya tetapi segera melakukan apa yang dikatakannya.

Bapak Pengurus Apartemen datang membawa kunci utama dan membuka apartemen Vijay. Bau busuk kotoran bercampur bau asam menyeruak dari dalam apartemen. Tubuh Vijay terkapar di lantai ruang tengahnya. Bekas muntahan cair bercampur padatan berwarna hijau kehitaman dengan cacing-cacing dan belatung menggeliat, berceceran di lantai.

Imdad menahan nafas, sementara Delisha dan Bapak pengurus apartemen muntah-muntah di koridor.

Play In Darkness (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang