Night 20: Stay The Night

4.1K 180 11
                                    

Imdad berbalik menuju kulkas dua pintu dan mengisi kantong karet dengan es batu. "Katakan saja terus terang apa yang sebenarnya terjadi. Apa ada orang yang menyerangmu? Apakah Vijay yang melakukannya?"

Delisha menoleh pada pria itu. "Apa yang membuatmu berpikir demikian? Tuan Vijay pria yang sangat baik dan disiplin," bantah Delisha.

"Tetapi tetap saja ia seorang pria ...," ujar Imdad mengingatkan dirinya sendiri. Wanita itu sangat menarik secara fisik dan melihat sikap serta penampilannya, membuat lelaki mana pun penasaran. Ia mendekati wanita itu dan meletakkan kantong es ke kepalanya. "Pegang ini selama beberapa menit, ini akan membantu meredakan bengkaknya."

Dengan segan Delisha melakukan apa yang disarankan pria itu. Dia menekan-nekan kantong es ke benjolan di kepalanya, tetapi dia menghindari tatapan Imdad Hussain. Pria itu berdiri memandanginya dari tepi meja, menuntut penjelasan. "Kau masih tak mau mengatakan yang sebenarnya?"

"Tolonglah, aku tak mau membicarakannya. Anggap saja aku mengalami hari yang buruk, oke?"

Imdad berusaha mengabaikannya, berbalik dan mencari-cari sesuatu di lemari gantung.

"Ini. Minumlah!" ujar Imdad kemudian sambil meletakkan sekeping obat penahan sakit di hadapannya. Obat itu juga memberi efek tidur nyenyak. Ia melihat lingkaran hitam di bawah mata wanita bermanik cokelat hangat itu. Ia melepas jaket berkendaranya dan menyampirkan benda itu di sandaran kursi. Ia mengambil air dingin untuk dirinya sendiri.

Tubuh dalam balutan t-shirt putih ketat, menampilkan perut rata, bahu lebar dan dada yang komposisinya otot semata. Otot lengan yang kencang ketika pria itu membuka tutup botol air mineral dan gerakan jakunnya turun naik ketika menenggak minuman, terlihat seperti iklan minuman segar di hari panas terik. Menggiurkan.

Delisha tak dapat memindah tatapannya pada pria itu. Ketika Imdad selesai minum, dia segera mengalihkan pandangannya. "Terima kasih!" sahut Delisha sembari mengambil obat dua biji sekaligus lalu menelannya dibarengi air putih. "Aku memang memerlukannya."

Imdad menatap heran, tetapi tak berkata apa-apa. Ia lalu membimbing Delisha menuju kamar. Ada 10 kamar tidur yang cukup luas di rumahnya. Ia menggunakan kamar utama yang paling besar, letaknya paling depan. Sedangkan untuk Delisha, tamunya, ia menyiapkan kamar tamu yang berada paling belakang, karena akses ke dapur dan taman paling dekat dari kamar itu. Mungkin wanita itu butuh pemandangan segar dan kemudahan mendapatkan makanan jika dia ingin makanan ringan malam-malam. Imdad berpikir demikian. Ia membukakan pintu kamar.

Dengan langkah gontai Delisha memasuki kamar barunya. Efek obatnya mulai bekerja. Tempat tidur empuk dan bersih di sana terlihat sangat menggoda. Kumohon, jangan ada lagi masalah malam ini! rengek Delisha dalam hati. Dia melepas sepatunya di tengah kamar dan melempar jaketnya ke ujung ranjang lalu menjatuhkan diri di kasur. Kaki menjuntai di tepi ranjang.

"Hei, hei, apakah seperti ini gaya tidur seorang wanita? Urakan sekali!" gumam Imdad sambil mengangkat kaki Delisha ke tengah kasur. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Delisha menelentangkan tubuhnya. Dia teringat Richard, ayahnya, yang biasa mengantarnya ke tempat tidur ketika mereka masih bersama. Ayahnya akan melakukan hal yang sama. Menyelimutinya, membelai wajahnya lalu mengecup keningnya, menemaninya hingga terlelap, menjaganya tetap hangat dan aman.

Imdad meletakkan selimut hingga dada Delisha dan tertegun melihat wanita itu menatapnya dengan sorot lembut.

"Tetaplah di sini," gumam Delisha pelan. Dia menahan sebelah tangan Imdad. Dia khawatir makhluk hitam legam itu akan datang lagi dan menyerangnya di saat dia tak berdaya karena pengaruh obat.

Imdad menelengkan kepala. Apa ia salah persepsi jika berpikir wanita ini menginginkannya? Dia terdengar sangat mengundang.

"Jangan tinggalkan aku," kata Delisha lagi dengan suara serak. "Aku tidak ingin sendirian ...."

Imdad tak bergerak dari posisinya. Duduk di tepi ranjang dengan wajah condong ke wanita yang sedang berbaring, menatap ke dalam matanya yang memohon penuh harap.

"Sebuah ciuman akan membantu menenangkan saraf-sarafku." Delisha bicara tentang ayahnya. Namun bagi seorang pria yang pernah berciuman dengannya, itulah lampu hijaunya. Tanpa menunggu lebih lama, pria itu mencium bibir ranum Delisha dan melebur dalam mulutnya.

Delisha tidak menduga. Namun tidak juga menolak. Apakah salah jika menginginkan ciuman dan pelukan dari seorang lelaki yang kebetulan terlihat layak di mataku? Delisha yang setengah sadar melingkarkan lengannya ke leher Imdad. Dia memuja setiap momennya. Kelembutan dan perhatiannya. Tidak memaksa dan tidak buru-buru, memberinya kesempatan menikmati rasanya. Hangat, lembab dan nyaman.

Mata keduanya setengah tertutup dan bergetar halus. Desahan napas lembut dan erangan pelan ketika mulut keduanya terlepas hanya untuk menarik napas, lalu kembali menyatu. Bibir lelaki yang lebih kuat menyesap dan rahang kasarnya berlawanan dengan kulit halus sang wanita.

Ia tahu bibir wanita itu mulai bengkak. Imdad beralih menelusuri kulit lehernya dan membenamkan ciumannya di cerukan feminin itu, menghirup aroma tubuhnya yang lembut dan menyadari bagaimana kepala wanita itu terangkat memberinya ruang leluasa untuk menjelajahi tiap senti leher dan selangkanya, membuat Imdad mabuk kepayang.

Imdad tidak tahu berapa lama dia mencumbui wanita itu karena ia harus menahan diri agar tidak mengambil lebih dari yang sepatutnya. Yang jelas wanita itu tertidur pulas, meninggalkan dirinya yang menegang dan jantung berdegup kencang. Ia harus meninggalkan kamar hanya untuk kembali ke kamarnya sendiri dan mengurus diri secepatnya sebelum birahi mengambil alih akal sehat.

Jam 4:30 pagi, hari masih gelap dan ia sesegar mentari pagi. Rambut basah habis mengguyur diri di bawah pancuran. Tubuh bagian bawahnya dibalut sehelai handuk dan ia menatap dirinya sendiri di muka cermin. Ia pria matang dengan tubuh tertata, padat dan tinggi semampai, tersenyum konyol seperti orang yang sedang jatuh cinta.

Ia menari dan menyanyi layaknya aktor utama dalam film India.

Since I got a signal from You Since then I have gone crazy
I have been separated from all
Even God seems like crazy to me
Since I got a signal from You, since then I feel restless
Since there has been whispering
Since then the intoxication has increased
Since the strings of our hearts got attached

Jab Se Tere Naina -- Sawariya


Play In Darkness (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang