Hari ini, gue dan Kevin bersiap berangkat dengan mobil para TNI dengan para relawan lainnya untuk pergi ke tempat lokasi bencana.
Baru beberapa menit berselang, gue hampir gak bisa berkata apa-apa lagi saat ngeliat kondisi tempat tsunami itu.
It's a mess.
Gue menautkan jari jemari tangan gue pada Kevin yang masih di samping gue.
Gue dan Kevin turun di daerah dekat bibir pantai, kaki gue melemas ketika melihat beberapa baju terlihat tersangkut pada kayu yang saling bertumpukan, beberapa anak dengan kondisi luka menghampiri para relawan untuk meminta beberapa makanan tambahan untuk para orangtua yang di rawat di puskesmas.
Gue melihat ada satu anak perempuan cantik dengan beberapa luka di pelipis dan pipinya, dengan baju pink compang-camping menghampiri gue secara malu.
Gue berjongkok untuk bisa mengobrol dengannya.
"Kak, Zahra boleh minta susu dan mi instannya gak? Ibu dan adik Zahra lagi kelaparan karena air susu ibu gak keluar" cicitnya pelan.
"Halo Zahra, nama kakak Karin, Zahra mau minta susu sama mi instan? Yuk kakak anterin ke tempat pengungsian" ujar gue sembari mengelus rambut ikalnya yang panjang.
Gue membawa beberapa dus susu dan mie instan, pergi berdua Zahra ke tenda tempat ibunya dan adiknya tidur.
Gue melihat ibunya Zahra yang menunggu di luar tenda dengan wajahnya yang panik dan bingung.
"Kamu kemana aja nak?" tanya ibunya yang khawatir.
"Permisi ibu, saya relawan yang baru datang, nama saya Karin" ujar gue sembari salim.
Ibu itu mengangguk.
"Mba Karin, apakah boleh saya minta susu formula? Karena sedari kemarin asi saya belum keluar," gue mengangguk sembari memberinya beberapa dus susu formula, serta botol dot juga mi instan dan selimut hangat untuk mereka.
"Gimana ceritanya Bu?" tanya gue sembari menggendong bayi laki-laki yang bernama Fawaz, karena sang ibunda sedang membuat susu formula.
"Saya dan Fawwaz, juga Zahra kebetulan lagi ke pasar, bapaknya di rumah lagi ngobrol sama bapak-bapak lainnya"
"Pas di pasar ada gempa, ada orang yang teriak air air, saya dan Zahra pergi ke masjid dekat pasar sambil lari, kami ke sana kemari ngikutin orang banyak,"
"Syukurnya kami semua selamat, tapi belum tau kondisi ayahnya, akhirnya minta ke sini sama mobil wartawan, ternyata dapet kabar kalo ayahnya udah nggak ada" ujar ibu lesu dengan air mata yang satu persatu keluar.
"Sabar bu, Tuhan sedang menguji ibu, mungkin sekarang Tuhan siapkan skenario terbaik untuk ibu dan keluarga" ujar gue sembari menyisir rambut kusut Zahra dengan sisir kecil di saku celana gue.
"Zahra, jangan sampai bunda kelelahan ya, jagain bunda sama Fawaz, Zahra kan anak pintar" nasihat gue pada Zahra yang sedang gue kuncir rambutnya.
"Kak Karin, terimakasih karena memberi bantuan pada Zahra dan bunda, semoga Allah memberi balasan yang setimpal atas semua kebaikan kak Karin" ujarnya, membuat gue mati-matian menahan tangis yang sudah di ujung mata.
"Iya sayang, kak Karin kesana lagi ya? Bantuin yang lain, Zahra banyak-banyak istirahat, bantuin bunda juga, oke?" tanya gue, mencoba menyelimutinya dengan selimut hangat.
Setelah pergi dari tenda kecil berisi Zahra dan keluarga, gue membantu beberapa orang membawakan sembako, mencoba membawa suasana ceria dengan bermain dengan anak-anak.
Disana, gue melihat Kevin sedang asik bercengkrama dengan para pengungsi, dia terlihat seakan akan gak terbebani oleh suruhan gue menjadi relawan.
"Vin," sapa gue pada Kevin yang kelelahan karena habis bermain dengan beberapa anak kecil.
"Capek juga," cicit Kevin hampir tak terdengar, membuat gue berinisiatif menyeka keringatnya dengan tisu yang selalu ada di tas kecil milik gue.
"Semangat, 2 hari lagi" ujar gue pada Kevin.
"Aku sadar sekarang, kamu ngelakuin ini bukan sekedar biar kita balikan, tapi lebih ke pelajaran kalo aku terlalu asik sama duniaku," sender Kevin pada bahu gue.
"Punya pikiran nikah gak sih Vin?" tanya gue penasaran.
"Punya, sama kamu" jawabnya langsung, bikin gue nyadar kalo gue nanya hal yang salah.
"Haha bercanda" tanggap gue canggung.
"Aku beneran gak pernah punya pikiran buat nikahin mantan aku waktu dulu pacaran, walaupun kita jalanin hubungan bertahun tahun"
"But, with you Rin, i already planned to marry you, in this year if we can back together"
Gue speechless, semoga malaikat mengaminkan apa yang Kevin omongin barusan.
"Ayo, makan sama yang lain, udah jam makan siang" gue memutuskan untuk mengalihkan topik dengan ngajak Kevin makan.
Kita semua makan bareng sama TNI dan pengungsi, dan rasanya jauh lebih enak dari makanan favorit gue.
I'm not gonna lie,
Rasanya biasa,
Tapi, kebersamaan kami semua terasa hangat, dan itu membuat makanan ini gue nobatkan sebagai makanan paling enak yang pernah gue makan seumur hidup gue.
Kami semua sudah siap membawa beberapa orang ke pusat kota, orang yang terluka, ibu dengan anak diprioritaskan dibandingkan yang lain, termasuk Zahra yang berada di pangkuan gue yang asik mencubit pipi gue.
"Cantik," ujar Rangga, anggota relawan yang gue tafsir seumuran dengan Kevin atau lebih tua.
"Apa sih mas," balas gue.
Kevin yang kesal dengan sikap mas Rangga yang memang sedari tadi mencoba menarik perhatian Karin, mengambil tindakan antisipasi dengan cara menunjukan bahwa gadis yang di godanya itu hanya milik Kevin Sanjaya Sukamuljo.
"Sayang, nanti temenin aku nelfon mama ya" ucap Kevin dengan suara yang sengaja di besarkan, membuat gue hampir muntah mendengar panggilan sayangnya.
"Jangan berisik Vin," senggol gue pada lengannya yang berada di samping gue.
"Sengaja, biar mas Rangrang itu gak godain kamu terus" sungut Kevin, membuat gue gemas dengan tingkah lakunya.
"Namanya Rangga," usil gue, membuat dia tambah kesal dengan ulah gue.
Zahra yang berada di pangkuan gue mulai tertidur pulas, nafasnya yang teratur membuat gue ikut ngantuk juga, sampai gue bahkan udah nyender di Kevin dengan nyaman karena suasana yang lumayan dingin.
Gue bangun dengan rasa capek yang mulai membaik, dan sekarang gue ada di tenda relawan, padahal seingat gue, gue masih berada di lengan Kevin yang lumayan berisi dan bisa jadi jadikan bantal.
"Udah bangun, makan malam yuk?" ajak Kevin membuat gue kaget karena sedari tadi dia juga asik tidur di sebelah gue dengan selimut hangat berwarna merah.
"Katanya mau nelfon mama?" tanya gue saat teringat ucapan Kevin di mobil.
"Abis makan aja," Kevin menjulurkan tangannya sambil tersenyum kecil, membuat hati gue menghangat karena sifatnya.
Kami berdua makan mi instan di dapur relawan, dengan gue yang memasaknya, karena Kevin bener-bener gak bisa masak.
Menyeruput kuah mi instan masing-masing dengan hening, karena terlalu banyak pikiran yang bergelut di otak kecil, membuat kami asik dengan ruang sendiri yang kami buat sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Story
Fanfiction𝐈𝐟 𝐢 𝐜𝐨𝐮𝐥𝐝 𝐠𝐢𝐯𝐞 𝐲𝐨𝐮 𝐨𝐧𝐞 𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐢𝐧 𝐥𝐢𝐟𝐞, 𝐢 𝐰𝐨𝐮𝐥𝐝 𝐠𝐢𝐯𝐞 𝐲𝐨𝐮 𝐭𝐡𝐞 𝐚𝐛𝐢𝐥𝐢𝐭𝐲 𝐭𝐨 𝐬𝐞𝐞 𝐲𝐨𝐮𝐫𝐬𝐞𝐥𝐟 𝐭𝐡𝐫𝐨𝐮𝐠𝐡 𝐦𝐲 𝐞𝐲𝐞𝐬, 𝐨𝐧𝐥𝐲 𝐭𝐡𝐞𝐧 𝐰𝐨𝐮𝐥𝐝 𝐲𝐨𝐮 𝐫𝐞𝐚𝐥𝐢𝐳𝐞 𝐡𝐨𝐰 𝐬𝐩𝐞𝐜𝐢𝐚...