Love #28

7.5K 767 114
                                    

Untuk sesaat Ai dan Satria hanya saling terdiam dan Rahil seperti biasa dengan sabar menjadi penunggu.

"Abang...aku minta maaf ya..." ucap Ai akhirnya tanpa menatap Satria. Ia menunduk sedikit meremas khimarnya.

Satria menatap Ai kaget. Ia menggeleng. "Kamu nggak salah kok. Aku yang harusnya minta maaf. Udah bentak juga sampai kamu shock begitu." Ia memejamkan matanya tapi yang ada justru ingatannya pada wajah dan reaksi shock Ai yang tampak dan itu menyakitkannya.

Ai menggeleng. "No. Itu...it's okay. Aku paham. Tapi memang aku shock karena nggak ada yang pernah ngomong dengan nada tinggi ke aku. Sekalinya pun waktu aku nyaris kecopetan dulu." Ia menggeleng lagi. "Bukan itu. Tapi maaf untuk semuanya."

Wajah Satria kembali memucat. "Om Rashad bilang dia hanya mengijinkan kita berteman. Nggak lebih. Apa kamu juga gitu? Jujur Ai, aku bingung dan takut menghadapi kamu itu harus seperti apa? Kamu membuka diri ke aku tapi sekaligus nggak pernah menunjukkan ekspresi apapun."

Mendengar kejujuran sekaligus nada sedih Satria membuat Ai menghela nafas. Bahkan Adiknya, Rahil. "Abang, kita belum halal satu sama lain. Aku nggak berhak memiliki perasaan apapun ke kamu. Suka mungkin iya. Tapi aku harus bisa memaintance rasa sukaku agar nggak jadi dosa." Terangnya sabar. "Sejak Abang bilang ke Papa ingin mengenalku lebih dekat setahun lalu, sejak saat itu pula sampai saat ini tak putusnya aku meminta petunjuk Allah apakah Abang jodohku atau bukan. Dan sampai detik ini ternyata Allah nggak mengijinkan perasaanku berkembang untuk Abang. Mungkin jodoh kita hanya begini. Teman. Aku terus menunggu Abang untuk mengatakan atau melakukan sesuatu tapi Abang hanya diam jadi aku nggak bisa ngomong apapun ke Abang."

Penjelasan Ai membuat Satria terpaku. Ia merasa ditampar. "Aku..."

"Abang orang baik, aku percaya. Tapi Abang yang aku kenal sekarang justru berbeda jauh dengan Abang yang dulu. Abang kenapa?" Sambung Ai lagi. "Jadi, terima kasih atas kebaikan Sbang selama ini. Dan kalaupun memang ada rasa suka di hati Abang untukku, aku ucapkan terima kasih tapi tolong hapus untukku karena kita bukan pasangan halal. Berikan pada yang lebih berhak, yang lebih baik dari aku. Istri Abang nantinya."

Satria mengusap wajahnya kasar. Apapun yang ada di hatinya kacau balau dan kata-kata yang ingin diucapkannya pun berantakan malah nyaris hilang. "Apa ini yang dinamakan perasaan yang sia-sia?"

Ai mengangguk mantap. "Sekeras apapun kita menginginkan kalau Allah nggak ijinin ya sia-sia. Tapi Allah Maha membolak-balik perasaan dan hati manusia. Setidaknya aku sudah berusaha."

Satria tersenyum kecut. Atas nama pekerjaan, akhir-akhir ini ia sedikit melupakan kewajibannya sebagai makhluk bertuhan. Yang dilakukannya hanya memenuhi kewajiban pokok saja, padahal Allah lebih suka melihat makhluk-Nya yang terus berusaha melebihi kewajibannya. Padahal kalau dilihat, Papa Ai juga sibuk tapi selalu menyisihkan waktunya untuk berbicara pada Allah. Seandainya ia memulai lagi dari awal, akankah doanya dikabulkan?

"Ya Ai. Aku suka kamu dan mustahil untuk nggak sayang sama kamu. Kamu itu gampang banget disayangi." Aku Satria sambil tersenyum lembut mengabaikan perih hatinya. "Bertahun-tahun sejak mengenalmu setelah Ayah menikah dengan Mama Putri, aku sudah tertarik sama kamu. Dan setahun yang lalu akhirnya aku memberanikan diri menghadap Om Rashad...aku...nggak nyangka ternyata ijin yang diberikannya itu lebih serius dari yang kupikir. Bukannya aku nggak serius hanya kupikir takut terlalu cepat..."

"Kami nggak pernah menggantungkan sebuah hubungan, Bang." Celetuk Rahil yang dari tadi diam saja. "Ketika kami menyukai seseorang, itu artinya kami siap ke jenjang pernikahan."

Satria manggut-manggut. "Ya. Bodohnya aku baru mengerti itu." Ia menghela nafas lelah. "Tapi boleh aku tanya sesuatu, Ai?"

Ai mengangguk.

Ai Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang